Tampilkan postingan dengan label Bsc. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bsc. Tampilkan semua postingan

Rabu, Januari 23, 2019

Urgensitas Pengorbanan Dalam Islam

                                                                  Sumber: Google.com

    Pengorbanan diartikan secara bahasa adalah sebuah proses seseorang mengabdikan diri kepada sesuatu. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa menegakkan perkara baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk. Di antara perkara-perkara baik itu adalah memberikan pengorbanan kepada orang lain untuk sesuatu yang baik dan benar menurut Islam. Sebagaimana firman Allah SWT :

(وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى) (المائدة: 2)
Artinya : "Tolong-menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan."

      Berangkat dari Ayat tersebut, umat Islam diperintahkan untuk senantiasa menegakkan sikap gotong-royong di dalam setiap perkara yang baik serta kepada sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT.
       
     Sebuah pengorbanan tidak diartikan sebagai sesuatu hanya berupa materiil saja, melainkan dimaknai sebagai sesuatu yang sangat luar biasa dan mencakup di dalamnya berupa materiil, moril, hal-hal bersifat dedikatif bahkan berkorban untuk orang lain meskipun hatinya merasa tersakiti. Seorang muslim sejati mengartikan bahwa sikap berkorban untuk orang lain kepada sesuatu yang baik adalah sebuah ladang amal kebaikan yang akan bisa dirasakan hasilnya ketika hari akhir tiba.

     Berkaitan erat dengan momentum hari raya Idul Adha dan sejarah mencatat bahwa terdapat sebuah pengorbanan besar pada peristiwa tersebut, yang mana kita diajarkan untuk belajar mengikhlaskan dan mengorbankan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT meskipun itu berat untuk dilakukan. contohnya yaitu ketika Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Ibrahim AS untuk memenggal leher anaknya, Nabi Ismail AS. Secara tabiat, tidak pernah ada seorang Ayah ingin menyakiti anaknya sendiri, apalagi sampai membunuhnya.

    Peristiwa Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk memenggal leher anaknya adalah sebuah pelajaran penting dan berharga untuk kita pahami bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan kita harus selalu berusaha mengikhlaskan serta merelakan sesuatu yang kita cintai, yang kita senangi dan yang kita miliki semata-mata untuk Allah SWT. 

      Akan tetapi, ketika Nabi Ibrahim ingin memenggal leher Nabi Ismail, Allah SWT menggantikan leher Nabi Ismail dengan leher seekor domba. Yang mana, hal tersebut tidak pernah terpikirkan bahwa akan terjadi seperti itu. Namun, percayalah! Bahwa ketetapan Allah itu ada dan selalu bersikap adil terhadap umatnya. Allah yang pasti lebih tahu daripada umatnya, maka lakukan yang terbaik di dalam hidupmu dan jangan lupa untuk senantiasa melatunkan kalimat syukur kepada Allah SWT.

      Peristiwa di atas adalah sebuah pengorbanan seorang ayah yang merelakan anaknya untuk Allah SWT. Pengorbanan itu beragam dan sangat banyak sekali bahkan ketika menjadi seorang pelajar pun kita tertuntut untuk selalu belajar mengorbankan sesuatu untuk masa depan yang lebih cerah.

     Seorang pelajar yang merantau jauh dari kampung halaman dan meninggalkan keluarga tercinta itu juga merupakan hasil pengorbanan yang dilakukan semata-mata untuk hari yang lebih baik sehingga ia bisa memberikan manfaat untuk masyarakat nanti. Penuntut ilmu sangat berkaitan dengan kedisiplinan dalam mengatur waktu, seakan-akan ia dikejar oleh waktu yang ia miliki. Sebagaimana Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Nabi SAW bersabda:

 (نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ) (2)
Artinya : “dua kenikmatan yang sering terlupakan oleh kebanyakan manusia adalah nikmat sehat dan waktu luang.”

     Jika penuntut ilmu tidak disiplin dalam mengatur waktunya untuk melakukan kewajiban-kewajiban sebagai seorang pelajar, maka suatu ketika ia akan menyesali sesuatu yang sudah ditinggalkan, kewajiban-kewajiban yang terlupakan dan kemudian bertanya kepada diri sendiri; “kenapa tidak sejak dahulu saja, ketika menjadi pelajar saya memaksimalkan waktu untuk belajar?".

   Sebuah pernyataan penyesalan seorang pelajar yang tidak memanfaatkan waktunya ketika masih menjadi seorang pelajar. Bersikap disiplin dalam mengatur waktu sangat diprioritaskan, terutama bagi seorang pelajar. Bersikap dewasa dalam mengutamakan sesuatu yang lebih penting daripada sesuatu yang hanya bersifat penting, bersikap idealis dalam menentukkan arah tujuan, bersikap realis dalam melakukan suatu kebutuhan. Semua ini juga merupakan hasil sebuah pengorbanan yang dilakukan oleh seorang pelajar.
     
     Setiap tingkatan seseorang memiliki nilai pengorbanan yang berbeda satu dengan yang lain. Misalnya saja; seorang suami atau istri (bagi yang sudah), seorang kepala rumah tangga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya bahkan sampai rela tidak tidur sehari semalam, bersabar mendidik anaknya yang terkadang sulit untuk dinasihati dan juga harus menjaga kestabilan kondisi rumah tangganya. Sebagaimana firman Allah SWT :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (النساء: 4)
Artinya : “Dan berikanlah maskawain (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."

   Pada dasarnya, seorang laki-laki yang baik adalah ia senantiasa mengorbankan dirinya untuk perempuan. Berkorban yang bersifat materiil, moril bahkan sampai kepada perasaan hati. Rasanya harus dipahami dengan baik bagi setiap laki-laki bahwa perempuan diciptakan sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, selalu membutuhkan sandaran ketika kesedihan melanda.
            
    Ini adalah sebuah contoh pengorbanan yang dilakukan seorang suami untuk kebaikan keluarganya dan meraih keridhoan Allah SWT karena sudah menjalankan kewajiban bagi seorang suami yang telah diperintahkan oleh Islam.

  Keberadaan Islam adalah sebagai penerang kehidupan manusia. Islam adalah sebuah agama yang mengajarkan kebaikan, menegakkan persatuan, berlaku adil atas segala sesuatu, memerintahkan sikap tolong-menolong antar sesama umat Islam dan seluruh umat manusia pada umumnya. Firman Allah SWT :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء :107)
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."

   Islam menebarkan kebaikan tidak hanya kepada umat manusia saja, melainkan Islam datang sebagai rahmat untuk seluruh makhluk hidup yang ada. Islam datang menjaga kestabilan kondisi masyarakat di dalam kemajemukannya. Islam datang membawa risalah besar untuk umat manusia agar selamat hidup dunia dan akhirat, -semoga kita bisa selalu berkumpul dengan orang-orang baik-.

   Urgensitas pengorbanan menjadi sesuatu yang bernilai dan dapat dirasakan hasilnya oleh setiap muslim, ketika ia memahami hakikat risalah kebaikan yang dibawa oleh Islam untuk umat manusia pada umumnya dan juga mengerti bahwa setiap makhluk hidup itu pasti membutuhkan kepada yang lain, maka segerakanlah dekati orang di sekitarmu yang sedang membutuhkan bantuanmu, lakukan dengan ikhlas sepenuh hati meskipun itu sesuatu yang sepele.




Biodata Penulis
Nama: Muhammad Arrafii
Sekolah : Universitas Al-Azhar Mesir Tingkat III

Minggu, November 04, 2018

Kajian Ushul Fiqih ala BSC Resmi Ditutup




Kajian Ushul Fiqih yang rutin diselenggarakan  oleh Departemen Keilmuan KPJ Mesir kini telah memasuki babak akhir. Kajian tersebut resmi ditutup pada hari Jumat (01/11) di Wisma KPJ. Penutupan kajian ini meliputi pesan dan kesan dari kedua pembimbing kajian (ust Asroruddin dan Ust  Manarul, Lc), apresiasi kepada peserta kajian terbaik dan peserta kajian terfavorit.

Abangda Yudha Prawira (Gubernur KPJ Mesir) dalam sambutannya turut mengapresiasi para pembimbing dan para peserta atas bimbingan dan partisipasinya dalam mensukseskan kajian, juga kepada Departemen Keilmuan  yang sukses mengaktifkan kembali kajian ala BSC (Batavia Study Club) hingga berhasil mengkhatamkan satu buah kitab, yaitu kitab Ushul Fiqih karangan Dr. Abdul Wahab Khallaf.

Kevin Damara (Koor. Keilmuan KPJ) turut berbahagia atas konsistensi perjalanan kajian Ushul Fiqih ala BSC ini. Beliau mengutip sabda Rasul SAW yang berbunyi: “Istiqomah itu lebih baik dari 1000 karomah.”. Beliau juga menyatakan bahwa adanya khataman kitab ini bukan sebagai akhir dari pembelajaran, namun sebagai awal untuk terus menyerap pembelajaran dari para guru yang hebat.
Lalu berlanjut pada sesi pesan dan kesan dari kedua pembimbing: Ust. Asrorudin dan Ust. Manarul, Lc.

Ust Manarul, Lc menyampaikan pesan kepada para peserta dan hadirin bahwa BSC adalah tangga untuk menyampaikan peserta untuk menggapai tujuan yang dimaksud; yaitu manisnya ilmu dan berkah. Beliau berharap agar BSC ini senantiasa dikembangkan dan diteruskan dengan berbagai kajian yang dapat menginspirasi warga KPJ dan Masisir. Beliau juga berharap agar berbagai maklumat yang didapat dari kajian ala BSC dapat disampaikan kepada orang lain yang ada di sekitarnya.

Ust. Asrorudin menuturkan beberapa pesan dan kesan sebagai pembimbing dalam kajian ini. Beliau juga bercerita tentang pengalamannya dalam mengurusi  BSC pada priode 2015-2016 yang dikepalai oleh Abangda Alhusain Farid. Pada saat itu, sempat diadakan kajian berbasis makalah yang dibimbing oleh Abangda Bachtiar tetang Ulumul Quran, hingga berganti dengan kajian kitab tentang Taysir Musthalah Hadits. Pada kepengurusan 2018-2019 yang dikepalai oleh Abangda Yudha Prawira, system kajian yang digunakan adalah pembahasan kitab. Beliau juga menceritakan pengalamannya dalam membimbing kajian Ushul Fiqih ala BSC ini. Menurutnya, kajian ini pada awalnya dihadiri oleh 20 orang, kemudian berubah hingga 14 orang, bahkan kajian tersebut sempat dihadiri oleh 5 orang dalam beberapa pertemuan terakhir. Menurutnya, penyusutan jumlah peserta pada kajian ini disebabkan adanya seleksi alam. Yang selalu konsisten mengikuti kajian hingga beberapa pertemuan sebelum khataman kitab ini adalah yang selalu mengikuti pembelajaran yang terbungkus dalam kajian berdasarkan keinginan yang kuat dalam diri sendiri.

Adapun peserta dalam kajian ini adalah mayoritas mahasiswa Indonesia, dan sebagian mahasiswa Thailand.

Peserta terbaik dalam kajian Ushul Fiqih ala BSC dinilai berdasarkan persentasi kehadiran dan keaktifan dalam mengikuti kajian dari awal hingga akhir. Mereka adalah: Faisal Fikri, Afifah Thohiroh,, Balqis Nurul Ilma. Peserta terfavorit dalam kajian ini dinilai berdasarkan kehadiran dan keaktifan dalam mengikuti kajian. Namun peserta terfavorit adalah peserta yang senantiasa hadir dan aktif dalam beberapa pertemuan terhitung dari awal hingga akhir, dan dia meraih predikat “Peserta Terbaik” selama dua kali dalam beberapa pertemuan tersebut. Dia adalah: Lutfiah Rusdah.

Sabtu, Juni 30, 2012

Derajat Kewalian; Mungkinkah Itu bagi Kita?

Oleh : Ahmed Tirmidzi El-Basyasyah


Pendahuluan


Mungkin Anda pembaca makalah ini akan tercengang dan bertanya-tanya, mengapa saya sebagai sang pemakalah disini mengangkat materi yang sangat tabu dan sakral yaitu “wali”. Banyak orang khususnya masyarakat di Negara kita Indonesia, yang salah persepsi tentang “wali”. Jika membicarakan “wali”, maka yang muncul di benak mereka ialah, wali adalah seorang yang sakti dan bukan manusia biasa yang memiliki banyak kelebihan di luar nalar manusia, seperti bisa berjalan di atas air, terbang di udara, bahkan bisa merubah buah aren menjadi emas. Ini seperti apa yang kita ketahui di Film Wali Sanga yang mempunyai banyak kesaktian (Karamah) ketika menyebarkan islam di Tanah Jawa. Klaim ini pun sudah terlanjur berkembang di masyarakat kita, jika tidak menunjukan adanya kesaktian maka dia bukan wali. Padahal sebenarnya, kesaktian-kesaktian itu bisa didapat seperti apa yang kita ketahui yaitu dengan mempelajari “Ilmu Hikmah” di pesantren, dengan mentirakati amalan-amalan khusus semacam puasa, membaca wirid tertentu dengan bilangan tertentu dan lain-lain (Riyadhah). Atau “Ilmu Sihir”, seperti apa yang penulis saksikan di acara televisi, seorang Dedy Corbuzier dan David Copperfield pun bisa berjalan diatas air dan terbang di udara. Dan ini parahnya lagi, ada seseorang “wali” yang ketahuan tidak shalat jum’at di masjid kampungnya, lantaran ia berdalih telah shalat jum’at di Masjidil Haram, Makkah Al-Mukarramah, orang-orang awam pun lantas mempercayai bahwa itu adalah karamahnya.

Ada juga yang berpendapat, bahwa derajat “wali” hanya diperuntukan bagi mereka yang keturunannya adalah keturunan wali, seperti dari nasab Rasulullah, para habib mempunyai peluang besar untuk menjadi wali sedangkan kita tidak. Atau seperti Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) adalah seorang putera dari Sunan Ampel, yang telah menjadi wali seperti Ayahnya. Pernyataan ini ada benarnya, karena “tittle” wali itu dapat diraih karena dua faktor ; keturunan (Dzurriyah) atau usaha (Ikhtiar). Mengenai karamah, ada benarnya juga, jika semua itu adalah kelebihan-kelebihan atau karamah-karamah dari Allah SWT. atas kewaliannya, bukan dari setan. Bukan dari “Black Magic” yang dapat dipelajari siapa pun. Tentunya, seorang “wali” adalah yang sangat ketat dalam menjalani syariat, menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan cinta kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, bukan yang meninggalkan shalat (Syariat).

Memang diakui, untuk sampai menjadi derajat wali tidaklah mudah perlu usaha dan banyak rintangannya. Tapi pun, tidak sesulit yang kita bayangkan, harus menyendiri dari keramaian orang, bertapa ke gunung sana guna mendekatkan diri pada Allah SWT. Contoh wali yang baik adalah Rasulullah SAW. hidup di tengah-tengah masyarakat, tapi tetap dekat dan selalu berhubungan kepada Allah SWT. Penulis Insya-Allah akan membahas semua ini secara gamblang dan praktis dalam kumpulan pertanyaan-pertanyaan, bahwa derajat kewalian begitu penting!

Apa itu wali? 

Dalam kamus Lisan Al-Arab karangan Ibnu Munzhir, secara etimologi, kata wali berasal dari Al-Waliyyu, yang berarti An-Nashir, Al-Bala yaitu penolong, pembela, kekasih, lawan kata dari Al-‘Aduwwu, musuh. Adapun arti terminologinya, Seorang penolong, pembela, kekasih, pecinta Allah dan Rasul-Nya yang tidak ada takut dan sedih di dalam diri mereka,

 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa, bagi mereka berita gembira didalam kehidupan di dunia dan akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat atau janji-janji Allah, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Yunus : ( 62 – 64)

Dijelaskan juga di dalam Hadist Qudsi, Dari Abu Hurairah RA., berkata: Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya Allah SWT. telah berfirman, “Barangsiapa memusuhi wali-Ku (Kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya, dan tidaklah seseorang bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada hal-hal yang telah Aku fardhukan. Dan tidaklah seseorang hamba terus menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar dan penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat dan tangannya yang ia gunakan untuk berjuang dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku pasti Aku memberinya perlindungan.” (HR. al-Bukhari)

Kenapa harus maqam wali yang dicari?

Maqam wali sangatlah penting. Allah SWT. telah menjanjikan dan memberikan kabar gembira bagi mereka, tidak akan ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka di kehidupan dunia dan akhirat. Ketakutan dari segala macam musibah; bencana, ujian, cobaan, dan kesedihan ; kematian, penyakit, kekurangan rezeki dan sebagainya, karena semua itu para wali menyerahkannya kepada Allah, mereka bertawakkal, segala sesuatu dari Allah dan kembali kepada-Nya. Tidak ada ketakutan bagi mereka kehilangan atau kekurangan rezeki, karena didalam diri mereka ada sifat qana’ah dan tahu bahwa kesenangan yang abadi ada di akhirat kelak. Ataupun kesedihan ; kematian, penyakit, dan lainnya, cinta Allah-lah yang menjadikan hidup mereka selalu bahagia, bahwa itu semua adalah titipan dan tanda kasih-sayang Allah SWT. padanya.

Insya-Allah, di akhirat kelak, di masa yang mana manusia berada dalam ketakutan, di masa yang mana Allah SWT. murka semurka-murkanya, di masa yang mana tidak ada perlindungan kecuali dari-Nya, sang wali tidak akan ada ketakutan dan kesedihan, karena antara Allah dan mereka saling mencintai. Firman Allah SWT., “Barangsiapa memusuhi wali-Ku (kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya”. Ini adalah kalimat sang pencinta. Seperti kita mencintai seseorang, “Aku akan selalu menjaganya karena aku sayang kepadanya”.

Seorang wali akan selalu dibimbing oleh Allah SWT. karena Allah-lah kekasihnya. Segala permintaan mereka dikabulkan. Jika meminta perlindungan maka Allah siap memberinya. Memusuhi wali berarti memusuhi Allah Jalla Wa ‘Alaa.

Bagaimana seseorang bisa meraihnya?

Dalam kitab Minhajul ‘Abidin karangan Waliyullah Imam Ghazali RA. menjelaskan, seseorang yang ingin mendekatkan diri atau sampai (wushul) kepada Allah Jalla Wa ‘Alaa. harus menjalani beberapa tahapan (‘Aqabah). Jika tahapan-tahapan ini dapat dijalaninya, maka ia akan sampai kepada Tuhannya, dekat kepada-Nya, yaitu :

1.       Tahapan ilmu dan ma’rifat
2.       Tahapan taubat
3.       Tahapan godaan
4.       Tahapan rintangan
5.       Tahapan pendorong
6.       Tahapan cacat-cacat
7.       Tahapan puji dan syukur

Tahapan Ilmu dan Ma’rifat

Seseorang yang ingin beribadah kepada Allah dengan benar agar dapat terhindar dari segala kesalahan dan mara bahaya, maka harus mengikuti tuntunan cara beribadah seperti apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Semoga Allah SWT. memberikan taufik-Nya kepada kita. Amin. Maka untuk itu, kita membekalinya dengan ilmu dan ma’rifat. Sebab, beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan. Dan antara ilmu dan ibadah adalah ibarat dua mata rantai yang saling berkaitan tidak dapat dipisahkan.

Al-Qur’an diturunkan Allah SWT. untuk umat Nabi Muhammad SAW. berisikan ilmu-ilmu seperti ilmu ushul aqidah, ilmu tauhid, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu lughah, ilmu balaghah dan lainnya, bahkan sampai ilmu sains pun dibahas didalamnya. Ilmu-ilmu inilah yang melandaskan kita untuk tahu bagaimana caranya beribadah, bagaimana mengetahui aqidah yang benar, dan sebagai landasan-landasan dalam mengetahui syariat islam itu sendiri. Rasulullah SAW. bersabda tentang keutamaan ilmu dan ibadah,

نظرة الى العالم احب الي من عبادة سنة صيامها و قيامها

“Melihat orang berilmu (beribadah), aku lebih sukai dari pada beribadah satu tahun, rajin berpuasa, dan mendirikan shalat malam (tanpa ilmu)”. Sangat jelas, bahwa kedudukan ilmu sangat diutamakan dalam beribadah. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Sabdanya juga,

العلم امام العمل و العمل تابعه

“Ilmu adalah imamnya amal (ibadah), dan amal adalah makmumnya.” Oleh karena itu, ilmu merupakan inti (pokok) yang harus didahulukan dan diikuti oleh ibadah. Apa faedahnya berilmu? Pertama, agar benar dan berhasil dalam menjalankan ibadah. Dengan ilmu, maka kita mengetahui Dzat yang harus disembah, yaitu Allah-lah yang patut disembah. Kedua, agar ibadah yang kita jalani selamat dari macam penyakit, yang dapat merusak ibadah.

Adapun yang dimaksud ilmu ma’rifat adalah orang yang harus mengenal empat perkara :

1.       Mengenal dirinya, bahwa dirinya adalah hamba Allah yang lemah dan membutuhkannya.
2.       Mengenal Tuhannya, mengetahui dengan sebenar-benarnya dan yakin bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan tempat kembali.
3.       Mengenal dunia, yaitu mengetahui keburukan dan kefanaan dunia.
4.       Mengenal akhirat, mengetahui begitu pentingnya kita mempersiapkan untuk akhirat.




Tahapan Taubat

Wajib bagi orang-orang yang menjalankan ibadah untuk melakukan taubat. Sebab diwajibkan taubat ada dua hal : Pertama, agar kita taat kepada-Nya. Sebab, perbuatan dosa menghalangi taat yang akan menghilangkan ketauhidan, menghalangi beribadah pada Allah dan berbuat baik. Orang sering melakukan dosa hatinya menjadi hitam, kelam, dan keras. Tidak ada kebersihan dan kejernihan, tidak akan ikhlas dan senang dalam beribadah. Jika Allah tidak memberikan rahmat, maka hati yang demikian itu akan menjerumuskan ke dalam kekufuran. Kedua, agar ibadah kita diterima Allah SWT. karena taubat merupakan inti dan dasar untuk diterimanya ibadah.

Taubat yang dijalankan tanpa adanya pendahuluan (Mukaddimah) akan terasa berat. Oleh sebab itu, dalam bertaubat terdapat tiga pendahuluan :
1.       Kita menyadari bahwa dosa adalah sesuatu yang amat buruk.
2.       Sadar dan ingat akan kerasnya hukuman dan murka Allah SWT.
3.       Menyadari kelemahan dan kurangnya tenaga kita untuk menahan semua itu.

                Sangatlah beda antara penyesalan dan taubat. Penyesalan dengan mengatakan “aku menyesal”, kebanyakannya hanya terucap di bibir saja dan bukan dari hati yang paling dalam, bukan dari ketulusan hati, alias palsu. Agar penyesalan itu benar-benar menyesal, tidak diulangi lagi, maka harus didasari tiga pendahuluan tersebut, agar menjadi taubatan nasuha. Jika taubat itu telah kita laksanakan dengan baik yaitu kita bertaubat untuk tidak akan mengulangi lagi, lalu muncul kekhawatiran akan mengulangi lagi, maka itu benar-benar bisikan dari setan. Sekali lagi itu bisikan dari setan. Tidak lain, setan ingin kita mati dalam keadaan su’ul khatimah, jelek akhirnya, dengan menanamkan keraguan, dan akhirnya kita malas beribadah. Kalau sudah malas ibadah, tanpa kita tahu ternyata ajal menjemput kita, maka kita mati dalam keadaan berdosa.

Tahapan godaan (Awaiq)

   Dalam beribadah pun ada rintangan dan godaan yang harus dihindari, sehingga ibadah kita tegak dan kokoh. Godaan ibadah ada empat macam :

       Dunia dan seisinya, yaitu semua yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Untuk menyelamatkan diri dari segala godaan, kita harus menjauhi dan memalingkan dari dunia itu, yakni jiwa dan raga tidak sepenuhnya untuk dunia. Bisakah urusan dunia dan akhirat berjalan bersamaan? Dunia dan akhirat ibarat dua wanita yang dimadu. Jika seseorang dapat menggembirakan yang satu, maka yang satu lagi akan kecewa! Seperti apa yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ RA., “Aku berkeinginan menghimpun dagang dengan ibadah. Tetapi, kedua-duanya tidak dapat berkumpul. Maka, aku memilih ibadah dan meninggalkan dagang.” Itu adalah tariqat Abu Darda’ RA. Sedangkan berbeda dengan tariqat Abdurrahman bin ‘Auf RA., beliau menjalankan ibadah sambil berdagang. Rasulullah SAW. Bersada, “Barangsiapa mencintai dunia, urusan akhiratnya akan tercecer.

Maka sebab itu, kita harus Zuhud memperbanyak dan mempertinggi nilai amal.
Pengertian zuhud adalah tidak mengejar kesenangan dunia yang tidak ia miliki, membagikan kesenangan dunia yang terkumpul padanya, dan tidak menghendaki dunia dalam hatinya dan tidak mengusahakannya. Allah berfirman menegaskan tentang zuhud, “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki…” (al-Isra’ : 18)

2.       Makhluk Tuhan. Sedangkan yang mewajibkan kita agar menjauhi makhluk ada dua perkara. Pertama, kebanyakan makhluk akan memalingkan kita dari ibadah dengan memasukan kebingungan-kebingungan dalam hati kita. Kedua, kebanyakan manusia dapat merusak ibadah yang kita laksanakan. Dengan ajakan yang menjurus kepada perbuatan riya dan bermegah-megahan, jika tidak ada perlindungan dari Allah SWT.

3.       Setan. Yang mewajibkan kita untuk memerangi dan mengalahkan setan ada dua. Pertama, setan adalah nyata-nyata musuh yang menyesatkan. Kedua, sudah menjadi tabiat setan untuk selalu memusuhi anak-cucu Adam. Guna memerangi dan mengalahkan setan, menurut pendapat ulama ada tiga cara. Pertama, harus mengetahui tipu daya setan, sehingga dia tidak akan berani mengganggu kita. Kedua, anggaplah remeh ajakan setan itu. Yakni, jangan memberi perhatian, jangan sekali-kali ajakannya kita ambil hati, apalagi dituruti. Ketiga, berdzikir dengan lisan maupun hati. Nabi SAW. Bersabda, “Sesungguhnya dzikrullah itu menyakitkan setan. Seperti menderitanya anak Adam dengan penyakit aqallah yang bersarang di lambung”

4.       Hawa nafsu. Hawa nafsu adalah musuh yang sangat mencelakakan, menimbulkan petaka yang amat besar, dan sukar dihindari. Kita harus waspada terhadap hawa nafsu karena dua perkara; (1) Karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam. Bukan musuh dari luar, seperti halnya setan. (2) Karena hawa nafsu adalah musuh yang disukai. Manusia yang mencintainya akan menutup mata terhadap segala keaibannya.

Tahapan rintangan (Awarid)

Rintangan itu ada empat macam :
1.       Rezeki dan tuntutan nafsu. Keduanya dapat diawasi dengan tawakkal. Firman Allah SWT., “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang beriman” (al-Maidah : 23)
2.       Bahaya-bahaya sampingan dari bahaya-bahaya utama. Seperti thulul ‘amal, merasa tidak akan mati.
3.       Takdir Allah dan macam-macam takdir.
4.       Kesulitan dan musibah.

Tahapan pendorong 

Diantaranya ; Pertama, rasa takut selalu kepada Allah untuk tidak berbuat maksiat (Khauf). Kedua, harapan kepada Allah (Raja’) agar selalu taat kepada-Nya. Allah berfirman,“… sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap…” (al-Anbiya : 90)

Adapun mukaddimah (pendahuluan) seseorang untuk selalu khauf kepada Allah SWT. adalah sebagai berikut:

1.       Mengingat segala dosa yang telah diperbuat, serta banyaknya musuh yang membawa kita pada kezhaliman. Sedangkan kita tidak dapat lepas darinya, dan terus-menerus mengikuti hingga kini.
2.       Mengingat beratnya siksa Allah SWT. bagi orang-orang durhaka, dan kita tidak akan kuat menanggungnya.
3.       Senantiasa sadar akan kelemahan diri dalam menanggung pedihnya siksa.
4.       Selalu ingat akan kekuasaan Allah SWT. terhadap diri kita. Dia dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, kapan saja Dia menghendaki.

Dan adapun juga mukaddimah (pendahuluan) seseorang untuk selalu raja’ kepada Allah SWT. :

1.       Senantiasa mengingat karunia Allah SWT. yang telah kita rasakan.
2.       Senantiasa janji Allah SWT. mengenai pahala yang berlimpah, kasih sayang-Nya yang besar.
3.       Selalu mengingat pemberian Allah SWT. yang sangat besar, baik dalam urusan agama maupun kebutuhan dunia.
4.       Selalu mengingat luas dan besarnya rahmat Allah SWT.

Tahapan cacat-cacat

Cacat-cacat disini adalah sifat riya, ujub, kikir (Bakhil) dan tidak menjaga diri dari hal-hal tercela. Sifat-sifat ini semua bisa menggugurkan pahala ibadah kita. 

Tahapan puji dan syukur

Setelah kita berhasil menempuh tahapan yang enam, dan telah berhasil mengamalkan macam ibadah yang telah dikemukakan, kini saatnya kita bersyukur dan memuji Allah SWT. atas karunia-Nya. Kesyukuran ini karena dua sebab. Pertama, agar kekal kenikmatan yang sangat besar itu, sebab jika tidak disyukuri akan hilang. Kedua, agar nikmat yang telah kita dapatkan bertambah.

Kapan seseorang bisa mencapai derajat wali? 

Seseorang akan mencapai derajat wali, jika Allah telah mencintainya dan dia mencintai-Nya. Yaitu, dengan menjalankan semua apa yang difardhukan Allah hingga Allah benar-benar mencintainya. Lalu menambahnya dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah hingga Allah tambah cinta kepadanya, “…dan tidaklah seseorang bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada hal-hal yang telah Aku fardhukan. Dan tidaklah seseorang hamba terus menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…”

Waliyullah Syaikh Abdul Qadir QS. menjelaskan dalam Kitab Tafsirnya Al-Jailani, “Keistiqamahan lebih baik dari pada seribu karamah.” Karena keistiqamahan, menjaga amal ibadah agar selalu dijalani (kontinu), sangat diutamakan dari pada karamah dari Allah itu sendiri.

Adakah wali di zaman sekarang? 

Tentu saja ada. Dan tidak usah diperdebatkan lagi keberadaannya dimana-dimananya. Wali-wali Allah bertebaran di seluruh dunia, merekalah yang menjaga kestabilan dunia ini dengan dzikir dan taqwa kepada Allah. Rasulullah SAW. pernah menyatakan: “Orang-orang Sholeh dikalangan ini (umat Muhamad SAW.) berjumlah tiga puluh orang. (Mereka itu) seperti Khalilur-Rahman (orang yang amat dekat dengan Allah) ‘Azza wa Jalla. Bila seorang dari mereka wafat, Allah menggantikan pada kedudukannya dengan orang lain”. Hadits ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan rawi-rawi shahih.

Siapa saja wali zaman dahulu hingga sekarang?

Waliyullah itu sangat banyak sekali jumlahnya, bukan hanya satu dua tapi mungkin ratusan bahkan ribuan. Karena wali-wali itu sendiri adalah mereka yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, yaitu umat islam, mu’minin. Contoh, seperti Wali Sanga di Indonesia, yang berjumlah sembilan, meskipun kenyataannya lebih dari itu. Atau wali yang masyhur semisal Syaikh Abdul Qadir Jailani, Syaikh Imam Ghazali, dan banyak lagi.

Tentunya, wali yang paling agung di antara wali-wali adalah Nabi Besar Kita Muhammad SAW. dan beserta sahabat-sahabatnya, yang kecintaan mereka kepada Allah SWT. melebihi kita yang hidup di akhir zaman ini.

Penutup

Benar-benar pemakalah kelelahan menyelami ilmu tasawwuf ini, kedalamannya laksana lautan yang tak cukup diselami hanya dengan berenang, tapi juga harus dengan alat renang yang canggih, supaya bisa meraup butiran-butiran mutiara di bawah sana. Iman dan ketaqwaanlah, dua alat super canggih untuk dapat menggali ilmu-ilmu Allah SWT. Dan yang Anda baca ini masih terdapat banyak kekurangan disana-sini, karena kelemahan penulis dan keinginan “coba-coba” menyelami lautan ilmu Allah yang begitu luas, yang sejatinya bukanlah penulis pakar dibidangnya.
Mudah-mudahan maklumat ringkas ini bisa memberikan kita pengetahuan bahwa derajat wali merupakan sebuah kenikmatan yang besar, tidak ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka di dunia dan akhirat. Dan sangat mungkin sekali bagi kalian menggapai maqam wali. (Wallahu a’lam bisshawab)

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. 2007. Al-Qur’an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002. Jakarta: CV Penerbit Darus Sunnah.
  
Imam Abu Abd Allah ibn Muhammad ibn Ali al-Hakim al-Tirmidzi. 1993. Adab al-Nafs wa Riyadhat al-Nafs. Kairo: Al-Dar al-Mishriyyah.

Ibn Manzhur. Lisan al-‘Arab. Bairut: Dar Shadir.

Syaikh Imam Ghazali. Minhaj al-‘Abidin. 1986. Jakarta: Darul Ulum.

Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani. Tafsir Jilani. Turki: Markaz al-Jaylani li al-Buhuts al-Islamiyah.

Musthafa ibn al-‘Adawy. Shahih al-Hadist al-Qudsiyyah. Cet. Ke-1 Kairo: Maktabah al-Shafa.
Muhammad Dhiya ad-Din al-Kurdy. Nasy-ah al-Tasawwuf al-Islami. Kairo: al-Mathba’ah al-Fanniyah.

Selasa, Juni 12, 2012

BSC; Syiah, Dari Dahulu Hingga Kini, dan Bagaimana Sikap Kita [1]

I.Prolog

Syiah adalah salah satu kelompok dalam agama Islam, bisa kita katakan juga sebagai pengikut yang membela Ali bin Abi Thalib, serta keturunnya. Pengaruh Syiah sangatlah besar, terutama di Timur Tengah, dari dulu hingga kini.
Di Syiah terdiri dari banyak kelompok, tetapi ada tiga kelompok besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah, yakni Syiah Zaidiyyah, Syiah Ismailiyyah, dan Syiah Itsna ‘Asyar. Dari ketiga kelompok tersebut, hanya Syiah Zaidiyyah yang tercatat dalam buku-buku ulama, sebagai satu-satunya kelompok yang ajarannya mendekati ahlu sunnah, dibanding dengan dua kelompok lainnya yang sudah sangat menyesatkan.
Bagaimana perkembangan Syiah dan sejarahnya, hingga bisa kokoh sampai sekarang, serta bagaimanakah sikap kita terhadap aliran Syiah yang akan menjadi pokok masalah dalam tulisan  berikut.

II A.Pengertian Syiah

            Syiah secara bahasa artinya tersebar luas, atau pengikut suatu aliran tertentu. Dan tidak kita temukan arti Syiah secara istilah secara sempurna, tetapi bisa kita umumkan arti istilahnya, yakni kelompok yang mendukung penuh akan Ali bin Abi Thalib. Kita bisa temukan kata Syi’ah di dalam Al-Qur’an:
إنّ الذين فرّقوا دينهم و كانوا شيعا ... (الأنعام : 159)
من كلّ شيعة (مريم : 69)
ولقد أهلكنا أشياعكم (القمر : 51)
II B.Permulaan Syiah
Banyak perbedaan pendapat antara para ulama mengenai asal-muasal Syiah, pendapat pertama yaitu setelah wafatnya Rasulullah Saw, di saat adanya musyawarah antara para pemimpin kaum Anshar dan Muhajirin. Ketika terpilihnya Abu Bakar As-Siddiq menjadi khalifah, ada beberapa sahabat yang menentang pendapat ijma’ musyawarah ini, mereka menginginkan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah setelah Nabi Saw.[3]

Dan pendapat kedua, sejak zaman khilafah Ali bin Abi Thalib ra, yang bertentangan dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Maka ketika itu pengikut Ali bin Abi Thalib adalah kaum Syiah, sedangkan pengikut Mu'awiyah bin Abi Sufyan adalah kaum ahli sunnah. Tapi sebenarnya perkataan ini adalah salah.
Sesungguhnya ahlu sunnah (di zaman tersebut) adalah yang berkeyakinan atas kebenaran (al-haq) pendapat Ali bin Abi Thalib ketika terjadi perbedaan dalam “Siapa yang berhak atas Khilafah”, antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah. Sedangkan Mu'awiyah sudah ber-ijtihad, tetapi belum mencapai derajat kebenaran dalam memecahkan masalah tersebut. Maka tidak benarlah jika ada pendapat yang mengatakan bahwa Syiah muncul ketika zaman Ali bin Abi Thalib.[4]

Pendapat ketiga, asal mula Syiah terjadi ketika ada fitnah yang disebarkan oleh seorang Yahudi Yaman, Abdullah bin Saba’ (ketika zaman khalifah Utsman bin Affan).[5] Abdullah bin Saba’ menentang akan khilafah Utsman bin Affan, dan memfitnahnya, hingga terbunuhnya beliau.

Pendapat keempat, bahwasanya permulaan Syiah setelah syahidnya Husein bin Ali Abi Thalib . Pendapat ini sangat masuk akal bagi kita. Sebab Husein bin Ali bin Abi Thalib keluar dari kekhilafahan Yazid bin Mu'awiyah, dan berangkat menuju Irak untuk memenuhi panggilan kaum Irak yang mendukung pendapat Husein tersebut. Tetapi pada akhirnya, mereka berkhianat dari Husein, dan syahidlah Husein di Karbala. Setelah kejadian itu, kaum Irak menyesal karena sudah berjanji akan mendukung Husein sepenuhnya. Dan keluarlah mereka dari Daulah Bani Umayyah.

Perkembangan Syiah di saat syahidnya Husein, hanya sebatas perkembangan di bidang politik yang menentang Daulat Bani Umayyah.

II C.Kelompok-kelompok Syiah

Sebenarnya Syiah terdiri dari puluhan kelompok yang kita sampai sekarang tidak bisa merincikannya dengan detail, tapi diantara beberapa kelompok Syiah yang terkenal adalah:
v  Kelompok Syiah di zaman awal berkembangnya:
a)      Syiah Al-Gholiyah, kelompok yang berlebih-lebihan dalam meminta hak mereka (khususnya masalah imamah), hingga mereka berani menyatakan bahwa imam mereka adalah Tuhan. Diantara kelompok ini adalah:
1.      “As-Sab-iyyah”, didirikan oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi Yaman). Kelompok inilah yang menyatakan bahwa ditemukan “wasiat” di kitab Taurat, yang berisi bahwa setiap nabi memiliki wasiat. Contohnya Yusya’ bin Nun (murid Nabi Musa) diwasiatkan oleh Nabi Musa untuk meneruskan kepemimpinan atas Bani Israil. Begitu juga Nabi Muhammad Saw mewasiatkan serupa kepada Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini juga yang menyatakan akan adanya faham “at-taqiyyah”[6] dan menuhankan Ali bin Abi Thalib.
2.      “Al-Kisaniyyah”, didirkan oleh Al-Mukhtar bin Abi ‘Abid At-Tsaqofi, yang dijuluki “Kiisan”.
3.      “Al-Mansuriyyah”, didirikan oleh Abu Mansur Al-‘Ajaliy. Yang menyatakan bahwa Allah Swt pernah berbicara langsung dengannya. Abu Mansur berasal dari Kufah, Irak. Dia seorang yang buta, tidak bisa membaca. Dia juga yang menganggap bahwa “Al-Baqir” (Imam Syiah keenam) mewasiatkan agar dia menggantikan menjadi imam sepeninggalannya nanti.
4.      “Al-Bayaniyyah/ As-Sam’iyyah”, didirikan oleh Bayan bin Sam’an An-Nahriy (seorang Yahudi yang menentang ajaran Islam). Ajaran ini muncul di abad pertengahan kedua Hijriah di Irak.
5.      “Al-Mu’awiyyah”, didirikan oleh Abdullah bin Mu’awiyah. Kelompok inilah yang memiliki keyakinan “tanasukhu al-arwah”, artinya penggabungan manusia dengan Tuhan, yakni Ruh Allah bergabung dengan jasad Adam, seperti halnya Ruh Muhammad Saw di dalam jasad Ali bin Abi Thalib.
6.      “Al-Khothobiyyah”, didirikan oleh Abi Al-Khithab Muhammad bin Abi Al-Ajda’ Al-Asadiy. Yang menyatakan bahwa Allah berada di lima jasad (Al-Makhmasiyyah): Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib, Fathimah bin Muhammad, Hasan bin Ali, dan Husein bin Ali. Dan kelompok ini juga yang berpendapat bahwa harus ada dua pemimpin di satu kelompok setiap zamannya, seperti Nabi Muhammad Saw dengan Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini terpecah menjadi empat, yaitu : Al-Mu’ammariyyah, Al-Yazi’iyyah, Al-‘Ajaliyyah, dan Al-Mufhadhiliyyah.
7.      “Al-‘Ulyaiyyah”, kelompok ini juga yakin akan Al-Makhmasiyyah.
8.      “An-Nashriyyah”, didirikan oleh Muhammad bin Nasir An-Namiriy yang hidup di abad ketiga Hijriah. Kelompok ini juga menuhankan Ali bin Abi Thalib. Dan juga yakin akan penggabungan ruh Kudus kepada manusia (tanasukh arwah). Kelompok ini masih ada hingga sekarang di Syiria, Lebanon Utara, Turki Selatan, Iran, Kurdistan, dan Turkmenistan.
v  Syiah Zaidiyyah:
b)      Kelompok Syiah Zaidiyyah Lama:
1.      “Al-Bitriyyah/ As-Sholihiyyah”, didirikan oleh Hasan bin Sholih bin Hayy, dijuluki dengan “Al-Abtar”.
2.      “As-Sulaimaniyyah/ Al-Jaririyyah”, didirikan oleh Sulaiman bin Jarir Ar-Roqqiy.
3.      “Al-Jarwadiyyah”, didirikan oleh Abi Al-Jarwadi.
c)       Kelompok Syiah Zaidiyyah di zaman pertengahan:
1.      “Al-Muthrofiyyah”, didirikan oleh Muthrof bin Syihab.
2.      “Al-Hasaniyyah”, didirikan oleh Hasan Al-Mutsniy.
v  Syiah Al-Imamiyyah:
d)      Syiah Al-Imamiyyah Itsna ‘Asyar
e)       Syiah Al-Imamiyyah Ismailiyyah
f)        Syiah Ad-Duruz
v  Syiah di zaman sekarang:
g)      Syiah Al-Babiyyah
h)      Syiah Al-Bahaiyyah

II D.Ajaran dan pemahaman Syiah

Diantara penyimpangan ajaran Syiah yang bisa merusak kemurnian Islam adalah:
a)      Salah satunya adalah pengkultusan Imamiyah. Mereka menolak khalifah yang ada, dan menggantinya dengan Imam –imam Syiah mereka. Dan 12 Imam Syiah mereka antara lain:
1.      Ali bin Abi Thalib “Al-Murtadho” (23 QH-40 H/ 600 M-661 M)
2.      Hasan bin Ali “Az-Zakiy” (3 H-50 H/ 624 M-670 M)
3.      Husein bin Ali “Sayyidu As-Syuhada” (4 H-61 H/ 625 M-680 M)
4.      Ali bin Husein “Zainal Abidin” (38 H-94 H/ 658 M-712 M)
5.      Abu Ja’far Muhammad bin Ali Zainal Abidin “Al-Baqir” (57 H-114 H/ 676 M-732 M)
6.      Ja’far bin Muhammad Al-Baqir “As-Shodiq” (80 H-148 H/ 699 M- 765 M)
7.      Musa bin Ja’far “Al-Kadzim” (128 H-183 H/ 745 M- 799 M)
8.      Ali bin Musa “Ar-Ridho” (153 H- 203 H/ 770 M- 818 M)
9.      Muhammad bin Ali “Al-Jawwad” (195 H-220 H/ 811 M-835 M)
10.  Ali bin Muhammad “Al-Hadi” (214 H-254 H/ 829 M- 868 M)
11.  Al-Hasan bin Ali “Al-‘Askari” (214 H- 254 H/ 829 M- 868 M)
12.  Muhammad bin Al-Hasan Al-‘Askari “Al-Mahdi” (256 H- wallahu a’lam/ 870 M- wallahu a’lam)
b)      Sifat-sifat Imam Syiah (menurut mereka):
v  Imam Syiah adalah suci dari kesalahan dan dosa, dan tergolong dari manusia yang paling sempurna dari lainnya (dari segi agama dan derajat di hadapan Allah Swt).
v  Seorang Imam Syiah harus mahir dalam ilmu perpolitikan dan paham akan seluruh hukum-hukum syariah. Tentunya ilmu mereka dari ilmu laduni, ilmu yang tanpa batas, karena Imam Syiah memiliki ruh kudus yang masuk ke dalam tubuh mereka. Sehingga derajat Imam Syiah bisa lebih tinggi daripada nabi sekalipun, karena ruh kuduslah yang memberi ilham kepada nabi.
c)      Kelompok Syiah Itsna ‘Asyar meyakini akan “Ar-Roj’ah”, yakni percaya bahwa Allah Swt akan membangkitkan ahlu bait Rasulullah yang terdzolimi untuk melawan kedzoliman di hari-hari sebelum kiamat nanti. Kelompok ini merujuk kepada ayat Al-Qur’an:
قالوا ربّنا أمتّنا اثنتين و أحييتنا اثنتين فاعترفنا بذنوبنا فهل إلى خروج من سبيل (سورة الغافر: 11)
Penafsiran mereka tentang ayat ini, adalah semoga kedzoliman sirna di hari kiamat, dengan dibangkitkannya ahlu bait Nabi Saw. Padahal, sesungguhnya tafsir mereka salah. Seharusnya ayat ini digunakan untuk penghapusan keyakinan akan adanya “Ar-Roj’ah”, seperti di kehidupan setelah mati, dan di alam kubur.  
d)     Penafsiran mereka tentang Imam Syiah kedua belas(Muhammad bin Al-Hasan Al-‘Askari) adalah bahwa dia belum meninggal ketika kecil, tetapi berada di ruang bawah tanah di salah gunung, dan masih hidup hingga sekarang. Dan dia juga berperan sebagai “Al-Mahdi” di hari nanti.
e)      Mereka (khususnya kelompok Syiah Farisiyah/ Iran sekarang) membuat peraturan mutlak yang menjadi warisan hingga sekarang, salah satunya adalah Imam (ketua) Syiah harus dari keturunan Ali bin Abi Thalib, dan diikuti selanjutnya jika Imam Syiah wafat.
f)       Mereka (kelompok Syiah Farisiyah) mensucikan Imam Syiah dan berhak atas penentuan peraturan. Imam Syiah suci dari segala kesalahan dan dosa, dan perkataan Imam Syiah adalah peraturan yang harus ditaati oleh kaum Syiah semuanya.
g)      Mereka sangat memusuhi sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw, termasuk di dalamnya memusuhi Abbas, paman Rasulullah Saw serta anaknya, Abdullah bin Abbas. Bahkan kelompok Syiah mengkafirkan para sabahat.
h)     Mereka menyatakan bahwa beberapa kota Islam adalah tempat kafir, dan mengkafirkan penduduk Madinah, Mekkah, Syam, dan Mesir.
i)        Mereka tidak menerima seluruh pendapat dan ijtihad Ulama Sunnah, serta menolak semua buku-buku Sohih Sunnah, seperti Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanbali, dan lainnya.
j)        Karena kelompok Syiah menolak serta tidak menganggap riwayat hadist para sahabat dan tabi’in, maka mereka berpegang teguh terhadap perkataan Imam Syiah untuk pedoman ajaran mereka, walaupun riwayat Imam Syiah itu dalam derajat dho’if.
k)      Pesatnya ajaran Syiah terlebih setelah meninggalnya Imam kesebelas mereka (Al-Imam Al-Hasan Al-‘Askari). Banyak buku-buku tentang pemikiran dan pemahaman yang dibuat oleh ulama Syiah, dan disebarkan di Faris (Iran) khususnya, dan negara-negara Islam lainnya.
Dan diantara beberapa penafsiran salah ulama Syiah tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib atas khalifah, yaitu:
v  Mereka memegang teguh dengan hadist “Al-Ghodir”, ketika itu Rasulullah berseru kepada ummatnya (sepulangnya beliau dari Haji Wada’) bahwasanya Ali bin Abi Thalib adalah Imam setelah beliau nanti.
 قال النبي صلّى الله عليه و سلم : من كنت مولاه فعليّ مولاه
Padahal seharusnya tidak demikian, arti dari “المولاة adalah "النصرة و المناصرة"
Dan juga istilah “المولاة bukan berarti berhak akan menjadi Imam (dari segi   politik, pemerintahan, dan menangani masalahat ummat Islam).
v  Mereka juga memegang teguh wasiat Rasulullah Saw atas Ali bin Abi Thalib tentang Imamah, dengan hadist “Al-Munzalah”.
قال النبي صلّى الله عليه و سلم : أنت منّي بمنزلة هارون من موسى، إلاّ أنّه لا نبيّ بعدي
Pendapat tersebut tidak demikian, karena Nabi Harun pada kenyataannya tidak meneruskan Nabi Musa untuk memimpin Bani Israil, dan Nabi Harun wafat sebelum Nabi Musa.
v  Mereka juga memegang teguh dengan hadist “Ad-Dar”, di awal da’wah Nabi Saw di Mekkah. Ketika itu Rasulullah Saw mengumpulkan kerabatnya, salah satunya Ali bin Abi Thalib (ketika itu dia masih kecil).
قال النبي صلّى الله عليه و سلم : إنّ هذا أخي و وصي و خليفتي فيكم
Pendapat tersebut bukan demikian, karena maksud Rasulullah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah termasuk salah satu dalam “awwalun as-sabiqun”, tidak dimaksudkan dengan wasiat Nabi Saw kepada Ali bin Abi Thalib.
v  Kesemua hadist di atas adalah hadist Ahad. Dan kita sudah mengetahui bahwa hadist Ahad hanya digunakan dalam maslahat ‘amaliyah sehari-hari kita. Tapi tidak boleh digunakan dalam permasalah aqidah, terlebih aqidah imamah.
III.Perkembangan Syiah 

Setelah syahidnya Husein, ada beberapa keturunan Ali bin Abi Thalib yang melanjutkan perjuangan kelompok Syiah, seperti Zainal Abidin bin Husein dan Zaid bin Ali bin Zainal Abidin.

Keluarnya Zaid dari Daulah Khilafah Bani Ummayah, membuat khalifah Hisyam (ketika itu khalifah Hisyam bin Abdul Malik yang memerintah Daulah Umayyah) geram, karena kebangkangan Zaid yang keluar dari Daulah Bani Ummayah. Maka terbunuhlah dia pada tahun 122 Hijriah. Muncullah setelah kematian Zaid mazhab Syiah yang kita kenal sekarang Az-zaidiyyah, mazhab ini tersebar di Yaman. Sebenarnya pembangkangan Zaid terhadap Daulah Umayyah, tidak lain karena tersebarnya kedzoliman yang dilakukan pemerintah Daulah Umayyah terhadap ummat Islam, terkhusus terhadap ahlu Bait Rasulullah Saw. Kita bisa mengingat ulang huru-hara pada tanggal 27 Dzulhijjah 63 Hijriah (27 Agustus 683 Masehi), yaitu masuknya pasukan Yazid bin Mu’awiyah dengan berjumlah 12,000 tentara Syam, dan dikomandani oleh Muslim bin ‘Uqbah. Ketika itu pasukan Yazid bin Mu’awiyah memporak-porandakan kota Madinah dalam beberapa hari, serta membunuh penduduk Madinah, memperkosa wanita-wanita, dan membakar rumah mereka. 

Sejak runtuhnya Daulah Khilafah Umayyah, dan berganti menjadi Daulah Khilafah Abbasiyah pada tahun 132 Hijriah, maka muncullah kelompok baru Syiah yang bernama “At-Tholobiyyin”, kelompok inilah yang menentang Daulah Abbasiyah. Sedangkan Syi’ah dengan pesat tersebar juga di daerah Faris (yang kita kenal Iran sekarang), dan bangsa Faris penganut Syiah berpendapat bahwa merekalah yang memiliki derajat tinggi dibandingkan dengan ummat Muslimin lainnya, oleh karena itu kelompok Syi’ah di Iran terkenal dengan nama “As-Syu'ubiyyah”.

Setelah Al-Hasan Al-‘Askari (Imam Syiah kesebelas) meninggal, Syiah pecah menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok Syiah memiliki ajaran masing-masing. Dan diantaranya yang paling terkenal adalah kelompok Syiah Itsna ‘Asyariyah, tetapi ada lagi kelompok yang paling berbahaya diantara kelompok Syiah, yaitu Syiah Ismailiyah dan Syiah Al-Qoromitoh.

Syiah Ismailiyah berdiri atas usaha seorang Rahib Yahudi yang ingin menyesatkan ummat Islam, yaitu Maimun Al-Qoddah. Dia mengaku bahwa dia adalah seorang muslim, padahal tidak. Dia selalu bersahabat dengan Muhammad bin Ismail bin Ja’far As-Shidiq. 

Maimun Al-Qoddah memiliki taktik yang sangat picik dalam menyebarkan Syiah Ismailiyah, diantaranya:

a)      Memberi nama anaknya dengan nama Muhammad (Abdullah), agar suatu saat ummat Yahudi mengklaim bahwa anak Maimun Al-Qoddah adalah keturunan Muhammad bin Ismail bin Ja’far As-Shodiq (termasuk keturunan dari Rasulullah).
b)      Syiah Ismailiyah mengklaim juga bahwa yang berhak atas kepemimpinan Daulah Islam harus dari keturunan Ismail Ja’far As-Shodiq.
c)      Banyak dari ajaran Syiah Ismailiyah dibuat oleh Maimun Al-Qoddah yang sangat menyimpang dari ajaran Islam sebenarnya.
d)     Diantara ajaran menyimpang itu adalah Syiah Ismailiyah menuhankan Imam mereka.
e)      Bukan hanya itu saja, mereka juga tidak menganggap akan peran sahabat Nabi, bahkan mereka menghina Rasulullah Saw, tetapi dilain sisi, mereka menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Saw.
f)       Dan yang paling keji dari perbuatan mereka, dengan membunuh kebanyakan ulama ahli Sunah di beberapa daerah Islam.
Beberapa petinggi Syiah Ismailiyah yang memiliki peran penting dalam menyebarkan ajaran mereka, yaitu Husein Al-Ahwazy (dia termasuk pendiri ajaran Syiah Ismailiyah), dan bertugas di Busroh, Irak. Juga Hamdan bin Asy’at, tapi ada yang mengatakan bahwa dia bukan muslim, melainkan Majusi Faris (Iran sekarang), dan ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah seorang Yahudi Bahrain. Julukan bagi Hamdan ketika itu “Qurmut”, yang nanti akan menjadi nama kelompok “Al-Qoromitoh”, cabang dari Syiah Ismailiyah.

Syiah Al-Qoromitoh adalah kelompok yang paling dekat dengan pencapaian penguasaan atas Daulah, tidak lain karena atas usaha Rustam bin Husein yang menyebarkan ajaran ini di Yaman, serta membuat Daulah Qoromitoh di sana. Dari sanalah tersebar ajaran ini ke Magrib dan Bahrain.

Salah satu perbuatan mereka yang amat tercela adalah pembunuhan atas jamaah Haji, penghancuran Masjidil Haram, di hari At-Tarwiyah pada tahun 317 Hijriah, serta pencurian Hajar Aswad dari Ka’bah ketika itu. Hajar Aswad tersebut ditaruh di Ibukota Syiah Al-Qoromitoh selama 22 tahun, lalu pada tahun 339 Hijriah, dikembalikannya kepada tempat asalnya, Ka’bah.

Kelompok selanjutnya, Syiah Ismailiyah yang menjadikan salah satu daerah di Magrib, sebagai basis ajaran mereka, serta menganggap daerah itu cocok untuk menyebarkan ajaran mereka, dan pengusungnya Abu Abdillah As-Syi’i. Di sinilah asal mulanya Daulah Syiah sebenarnya, setelah mengangkat Ubaidillah bin Al-Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Maimun Al-Qoddah menjadi Imam Mahdi bagi mereka. Bahkan mereka menganggap bahwa para imam sebelum Ubaidillah (keturunan Ismail bin Ja’far As-Sodiq) terhapus dan tidak dianggap sebagai Imam Syiah. Lalu mereka membuat Daulah baru dengan nama “Al-Fatimiyah”, diambil dari Sayyidah Fatimah binti Rasulullah Saw.

Daulah Fatimiyah (Syiah Ismailiyah) menyebarkan ajarannya dan wilayah kekuasaan ke bagian utara Afrika (Mesir) atas usaha komandan perang mereka, Jauhar As-Soqli Al-Ismaili di zaman Mu’iz Al-‘Abidi memimpin Syiah (Seharusnya bukan Daulah Fatimiyah, tapi Daulah “Al-‘Abidi”). Setelah itu didirikanlah kota Kairo, serta Masjid Azhar, dan dari sanalah tersebar Syiah Ismailiyah ke seluruh Mesir, Hijaz, dan Syam. Penyebaran Syiah Ismaliyah pesat sekali, hingga terhapusnya ajaran tersebut di zaman kekuasaan Solahuddin Al-Ayyubi tahun 567 Hijriah.

Hingga kini kina mengenal Syiah lebih banyak pengikutnya di Negara Iran, yang diketuai oleh Al-Khumaeni As-Syi’iyah Itsna Asyar.

IV.Sejarah Syiah di Lebanon, dari dahulu hingga kini

Di Lebanon, berdiri kelompok Syiah dengan nama “Hizbullah”, dan di sana terdapat 18 kelompok agama, sedangkan ada tiga kelompok yang cukup terkenal dan besar di Lebanon, yaitu kelompok Muslim Sunnah, kelompok Syiah Itsna ‘Asyar, dan kelompok Nasroni Al-Muwarinah.

Zaman keemasan Hizbullah terjadi pada tahun 1959 M, tidak lain karena peran penting dari Musa As-Sodri. Dia lahir pada tahun 1928 M di kota Qumm, Iran. Dan belajar mazhab Itsna ‘Asyar di sana, lalu melanjutkan jenjang pendidikannya di Universitas Qumm, di sana juga dia belajar banyak ilmu fiqih dan mantiq. Setelah itu dia berhijrah ke kota Najaf, Irak pada tahun 1954 M untuk belajar lebih dalam tentang Syiah. Selepas itu, barulah dia pergi ke Lebanon pada tahun 1959 M, hingga akhir usianya.

Musa As-Sodri datang ke Lebanon dengan membawa dua misi penting:
a)      Dia membawa ajaran Syiah dan ingin mendirikan Daulah Syiah di Lebanon. Karena dia tahu ketika itu orang-orang Syiah di Lebanon hanya mengenal Syiah sekedar nama saja, tapi tidak mengetahui lebih dalam mazhab Syiah.
b)      Dia membawa harta melimpah ke Lebanon untuk memudahkannya dalam menyebarkan ajaran Syiah disana. Karena di kala itu para pemuka Syiah memiliki derajat serupa dengan Ahlu bait Rasulullah Saw (menurut mereka), jadi mereka berhak atas harta 20% dari tabungan Syiah.
Perlu kita ketahui kenapa Musa As-Sodri begitu mengetahui seluk beluk Lebanon, karena dia hafal dan jeli akan asal-usul Lebanon serta kebutuhan masyarakat Lebanon ketika itu. Begitu pula harus kita ketahui hubungan dia dengan Khumaeni bukan sekedar hubungan politik saja, melainkan karena Khumaeni menikah dengan anak perempuan dari kakak perempuan Musa As-Sodri, begitu pula anak Musa As-Sodri menikah dengan cucu perempuan Khumaeni.

Maka tempat pertama yang disorot Musa As-Sodri untuk menyebarkan ajaran Syiah di barat Lebanon, karena di situlah sangat banyak pengikut Syiah. Pertama kali yang dia lakukan adalah mendirikan tempat perlindungan serta pertolongan bagi kaum fakir miskin, juga dibangunnya sekolah-sekolah, dan rumah sakit di sana. Inilah permainan Musa As-Sodri dalam menyebarkan ajaran Syiah di Lebanon. Terlebih lagi dia mengetahui bahwa kelompok Nasroni Al-Maruni adalah kelompok terkuat dan disegani di Lebanon ketika itu, dan ajaran Islam sunnah kurang diminati dan jarang sekali penyebarannya disana. 

Oleh karena itu, Musa As-Sodri melobi kelompok Nasroni Al-Maruni serta bersahabat dekat dengan kelompok itu, sebab dia tahu Syiah di Lebanon bisa berdiri dan berkembang hingga sekarang berasal dari pecahan kelompok Islam sunnah. Dari sinilah dia mengarang cerita bohong tentang para sahabat Nabi Saw. Puncak kejayaan Syiah di Lebanon terjadi pada tahun 1967 M. Ketika itu diadakan perkumpulan sesama Syiah yang menghasilkan didirikannya Majlis Besar Islam Syiah di Lebanon, dan Musa As-Sodri menjadi ketua pertama. 

Pada tahun 2006 hingga sekarang, Hizbullah Lebanon dikomandani oleh Hasan Nasrullah, seorang pemuka Syiah yang disegani oleh kaumnya. Kita mengetahui bahwa Hizbullah Lebanon ingin menjadikan Negara Lebanon sebagai basis kekuatan Syiah, bahkan ingin dijadikannya menjadi daulah Syiah Lebanon, seperti Iran sekarang. Dan masyarakat Lebanon sekarang sadar akan bahaya Syiah jika melebarkan sayapnya ke seluruh penjuru Lebanon. Mereka tahu bahwa maksud Hizbullah Syiah ingin mendirikan Daulah di Lebanon tidak lain hanya ingin menambah pasukan bersenjata dan kekuatan militer bagi Syiah, dan ini yang ditakutkan masyarakat Lebanon kebanyakan.

V.Syiah di Yaman

Pada tahun 199 Hijriah, yaitu pada zaman Khalifah Al-Ma’mun, ada seorang Syiah Zaidiyah, Muhammad bin Ibrohim Thobathiba dari Kufah, Irak, yang mengutus anak pamannya, Ibrohim bin Muhammad ke Yaman agar ajaran mereka tersebar luas.

Dan kita sudah tidak asing lagi dengan ajaran Syiah Zaidiyah, yang didirikan oleh Zaid bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Beliau lahir di kota Madinah (masa hayatnya dari tahun 79 Hijriah – 122 Hijriah/ 690 Masehi – 743 Masehi). Dia adalah seorang yang ‘alim, faqih, hafal Al-Qur’an, faham akan ilmu faro’id (al-mawarist), memegang teguh sunnah Nabi Saw, ‘arif tentang ta’wil sebagaiman juga dia ‘arif dengan tanzil Al-Qur’an, mengerti ayat-ayat nasikh dan mansukh

Kita beralih menuju cerita Kholifah Al-Ma’mun (ketika itu masih zaman Daulah Abbasiyah) yang berhasil melumpuhkan kekuatan revolusi Syiah Zaidiyah di Kufah (atas prakasa Muhammad bin Ibrohim Thobathiba), tetapi Kholifah Al-Ma’mun belum berhasil melumpuhkan Syiah Zaidiyah di Yaman (yang ketika itu diketuai oleh Ibrohim bin Muhammad). 

Maka Kholifah Al-Ma’mun melakukan diplomasi dengan Ibrohim bin Muhammad, untuk membolehkan Syiah Zaidiyah di Yaman, dengan syarat tetap berada di bawah naungan Daulah Abbasiyah.

Pada tahun 284 Hijriah, Yahya bin Husein Ar-Rusi bisa mendirikan daulah Zaidiyah di Yaman dikenal dengan “Daulah Bani Ar-Rusi” (Daulah A’immah), karena ketika itu lemahnya pengaruh dan kekuasaan daulah Abbasiyah atas daerah-daerah kekuasaannya.

Ternyata di Yaman tidak hanya Syiah Zaidiyah dan Ismailiyah saja yang berkembang, di sana juga terdapat Kelompok Syiah Hautsiyyin. Kelompok ini bermula pada tahun 1986 M, tepatnya Timur kota Son’a, Yaman. Di sana terdapat kelompok besar Syiah Zaidiyah, di bawah kepemimpinan Badruddin Al-Hautsi. Dia adalah seorang alim ulama Syiah Zaidiyah.

Pada tahun 1990 M, terjadi peristiwa besar di Yaman, yakni penyatuan seluruh wilayah Yaman. Di sinilah Husein Badruddin Al-Hautsi (anak Badruddin Al-Hautsi) memiliki andil dalam kepentingan Syiah Zaidiyah, yaitu menjabat sebagai salah satu anggota parlemen pemerintah Yaman, dari tahun 1993 sampai dengan 1997.

Dan seiring berjalannya waktu, terjadi perselisihan antara Badruddin Al-Hautsi dengan ulama-ulama Syiah Zaidiyah mengenai fatwa imamah Syiah Zaidiyah di Yaman. Menurut Mujiddin Al-Mu’ayyadi (ketua ulama-ulama Syiah Zaidiyah yang menentang pandangan Badruddin) bahwa siapa saja berhak atas menjadi imam Syiah Zaidiyah di Yaman, tanpa harus dari keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, maupun Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Maka pendapat ulama-ulama tersebut ditentang keras oleh Badruddin Al-Hautsi, terlebih Badruddin adalah penganut kelompok “Al-Jarwadiyyah” (salah satu kelompok Syiah Zaidiyah, yang memiliki pola pikir serupa dengan Syiah Itsna ‘Asyar). Oleh karena itu, dia menulis buku yang berjudul “Az-Zaidiyah fi-l-Yaman”. Buku itu mengulas adanya hubungan dekat antara Syiah Zaidiyah dan Syiah Itsna ‘Asyar, padahal seharusnya tidak demikian. Akibat perdebatan sengit ini antara dia dengan ulama-ulama Syiah Zaidiyah Yaman lainnya, dia terdesak dan hijrah menuju Teheran, Iran, dan tinggal di sana dalam beberapa tahun.

Sejak tahun 1997, ternyata ajaran dan pemikiran Syiah Itsna ‘Asyar mulai menyebar. Dan di tahun yang sama, Husein Badruddin Al-Hautsi memisahkan diri dari Partai Al-Haqq, lalu bergabung dengan kelompok “tsaqofiyah diniyah fikriyah” dari aliran sunni (Partai “At-Tajammu’ Al-Yumna Li-l-Ishlah”). Tetapi dia akhirnya memisahkan diri lagi pada tahun 2002 dengan membawa pengikutnya.

Pada tahun tersebut pula, alim ulama Yaman sepakat untuk memulangkan Badruddin Al-Hautsi dari pengasingan. Maka akhirnya dia kembali dari Teheran, Iran.

Pada tahun 2004, terjadi pemberontakan kelompok Syiah Al-Hautsi, atas perintah Husein Badruddin Al-Hautsi, mereka menguasai jalan-jalan di Yaman, dengan satu tuntutan agar invasi Amerika terhadap Irak dihentikan. Bahkan ketika itu pulalah Husein Badruddin Al-Hautsi mengaku bahwa dialah Imam Mahdi, serta menganggap dirinya sebagai Nabi. 

Maka terjadilah peperangan antara kelompok Syiah Al-Hautsiyah melawan pemerintah Yaman. Pemerintah Yaman ketika itu mengerahkan 30,000 tentara dan pesawat-pesawat tempur, hingga terbunuhnya pemimpin mereka, Husein Badruddin Al-Hautsi.

VI.Siapakah yang berkuasa di Iran?

Pada tahun 1979, terjadi revolusi Iran yang diusung oleh Khamaeni atas kepemimpinan seorang diktator Iran, Syah Balwi (Muhammad Reza Pahlavi). Khamaeni berjanji kepada masyarakat Iran bahwa dia akan memperbaiki pemerintahan Iran dengan secepat dan sebaik mungkin, demi maslahat bersama. Tapi apa kenyataannya? Ternyata Khamaeni lebih diktator daripada Syah Balwi.

Khamaeni telah membuat peraturan baru di Iran, dengan menggabungkan sejarah Syiah, yang disebut “Wilayatuh Faqih”. Maksud peraturan tersebut bahwa Wilayah (keberhakan dalam kepemimpinan) harus dari Imam yang suci dari segala kesalahan dan dosa. Dan sudah tidak dipungkiri lagi ummat Syiah meyakini kesucian Imam Ali bin Abi Thalib, dan ke-11 Imam Syiah lainnya (oleh karena itu kita ketahui dengan nama Syiah Itsna ‘Asyar, karena mereka memiliki 12 Imam Syiah, seperti yang telah saya sebutkan dalam halaman sebelum ini).

Dan “Wilayatul Faqih” disebut seperti demikian, karena Imam mereka yang ke-12 (menurut mereka Al-Mahdi Al-Muntadzor) telah menjanjikan “ilmu laduni” (ilmu yang tiada batasnya kepada siapa yang telah mencapai derajat alim dalam ajaran Syiah), dan dia pantas akan menjadi Imam yang suci dari apapun. Dan dia juga yang akan memimpin semua ummat Syiah di dunia ini. Oleh karena itu, bagi siapapun yang mempercayai akan “Wilayatul Faqih”, maka mereka harus tunduk terhadap Imam Syiah besar, yaitu Khamaeni.

Dari sinilah Khamaeni mengambil peran penting dengan menjadikan undang-undang Iran yang baru dibawah pengawasannya. Dan Khamaeni membikin “Majlis Al-Khubro-u”, yang anggotanya dipilih dari pemilu, tetapi dengan syarat, bahwa calon anggota Majlis harus berasal dari orang-orang Syiah Itsna ‘Asyar. Dan harus meyakini akan adanya “Wilayatul Faqih”. Maka terpilihlah Ayatullah Ali Khamaeni menjadi Mursyid Majlis Al-Khubro-u memimpin majlis tersebut.

Maka setelah Mursyid Iran yang terpilih, Ayatullah Ali Khamaeni berhak akan pengaturan dan penertiban undang-undang Iran, serta berhak memberi perintah kepada seluruh pasukan militer perang Iran. Dan dia pula berhak untuk mencopot pangkat seorang petinggi dalam militer, maupun pemerintahan.

Agar kediktatoran ini tidak terlihat, dibuatlah presiden yang menjadi kepala Negara Iran. Dia menjabat menjadi presiden di Iran, tetapi tidak memiliki kewenangan dalam kebijakan Iran sepenuhnya.

Dan selanjutnya, Khamaeni membuat “Majlis pembuat Undang-undang” (fungsi majelis ini serupa dengan DPR di Indonesia). Ironisnya, majlis ini terdiri hanya dari dua belas anggota saja, dan enam anggota dari mereka sudah terpilih oleh Mursyid Syiah Iran (Ayatullah Ali Khamaeni).

Di Iran ada dua partai kuat yang memiliki andil besar dalam pemilu, yakni Partai Al-Muhafidzin dan Partai Al-Islahiyyin. Dua partai ini ada, tidak lain hanya partai-partai inilah yang dibolehkan oleh Mursyid Syiah Iran, dan perselisihan diantara keduanya tidak amat besar, dibandingkan dengan perselisihan kebanyakan partai di seluruh pemilu di negara lain.

VIII.Bahaya Syiah

Seiring berjalannya waktu, banyak orang, khususnya ummat Islam yang tidak mengetahui apa itu Syiah, dan sejarah Syiah dari dahulu hingga kini. Itu akan berdampak buruk bagi umat kita yang awam, dan bisa jadi Syiah dianggap dan setara dalam empat mazhab yang ada (Syafi’i, Hanbali, Hanafi, dan Maliki). Dan juga banyak dampak buruk Syiah, tidak hanya di dalam masalah furu’iyah (di agama Islam), bahkan juga di masalah ushuliyah yang seharusnya tidak bisa diganggu gugat. Diantara siasat Syiah yang menjadi dampak buruk bagi kita adalah sebagai berikut:

a)      Syiah memfitnah para sabahat Nabi Saw (Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan lainnya), contohnya: tidak menerima riwayat hadist dari para sahabat Rasulullah Saw. Seharusnya mereka (Syiah) sadar bahwa yang mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu di zaman khalifah Abu Bakar As-Sidiq, dan dijadikan mushaf di zaman khalifah Utsman bin Affan. Begitu pula harusnya mereka (Syiah) ingat akan hadist Nabi Saw:
عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي (رواه الترميذي)[7]
Begitu pula harusnya mereka (Syiah) mengerti bahwa Sahabat Nabi Saw memiliki andil dalam penyebaran agama Islam yang hakiki. Tetapi Syiah tetap saja menolak dan menghina para sahabat Nabi Saw, diantaranya:
v  Semua Syiah Itsna ‘Asyar yang tersebar di Iran, Irak, dan Lebanon pasti meyakini akan hinanya para sahabat Nabi Saw, oleh karena itu mereka tidak akan menghormati para sahabat Nabi Saw.
v  Terjadinya perdebatan sengit antara DR. Yusuf Qordowi dengan Rafsanjani (pemuka Syiah) di channel Al-Jazeera. Ketika itu Rafsanjani dengan bangganya menghina sahabat Nabi Saw, tapi dijawab DR. Yusuf Qordowi dengan memuliakan para sahabat Nabi Saw. Begitu pula ketika ada soal yang diajukan kepada Khamaeni tentang hukum menghina sahabat Nabi Saw, dia tidak menjawab dengan tegas itu Halal apa Haram, melainkan dijawab olehnya jikalau itu membuat perpecahan diantara ummat Muslim maka hukumnya haram syar’an.
b)      Bahayanya penyebaran pemahaman Syiah di Negara-negara Islam, seperti yang kita ketahui sekarang di Iran, Irak, Lebanon, Bahrain, Suria, Yordania, Uni Emirate Arab, Mesir, Afganistan, Pakistan, dan Yaman. Bahkan yang paling berbahaya jika mereka mengaku bahwa mereka adalah ahlu sunnah, tetapi berpola pikir Syiah.
c)      Terjadi pembunuhan massal lebih kurang 100,000 muslim Sunni oleh Syiah di Irak pada tahun 2003-2006.
d)     Termaktub di buku “Ushul Syiah”, bahwa Khamaeni menulis di buku “Al-Hukumah Al-Islamiyyah”, bahwa para imam Syiah memiliki derajat lebih tinggi yang tidak bisa dicapai oleh Nabi sekalipun, oleh karena itu ketika ada fatwa “takfir” oleh Imam Syiah atas muslim Sunni di Irak, mereka (Syiah) menuruti tanpa ada pertanyaan sedikitpun. Sehingga pembunuhan massal tidak terelakkan.
e)      Ketika Revolusi Iran pada tahun 1979, tersebarlah kabar ini ke seluruh penjuru dunia, bahkan di Arab Saudi. Maka pada tanggal 19 November tahun 1979, terjadi huru-hara di Masjidil Haram oleh kaum Syiah.
X.Epilog

Demikianlah sejarah Syiah, dari dahulu hingga kini. Dari dari sini kita harus mengikat tali kemawasan diri kita terhadap ajaran Syiah dimanapun berada. Karena, seperti yang kita ketahui, Syiah tidak akan bertindak semena-mena, jikalau pengikut mereka di suatu daerah/ kota/ negara sedikit. Tapi justru mereka akan bertindak tercela jika ajaran Syiah berkembang pesat dan pengikutnya banyak, contohnya huru-hara di Masjdili Haram oleh pengikut Syiah pasca revolusi Iran, atas usaha Imam Syiah mereka, Khamaeni.

Akhir kalam, kemawasan diri kita harus dengan cara yang baik, yaitu dengan berbuat “amal ma’ruf dan nahi munkar”, sesuai cara yang terbaik yang bisa kita lakukan terhadap ajaran sesat dalam Islam.
Wallahu’alam bissowab. Oleh: Supriyo WR[2]

XI.Daftar Pustaka
1.      DR. Muhammad Anwar Hamid ‘Isa, As-Syiah baina al-I’tidal wa al-ghuluw, cet. ke-II, tahun 2009.
2.      DR. Rogib Sarjani, As-Syi’ah-Nidhil am dholal, Darul Kutub Al-Misriyyah, cet. Ke-II, tahun 2011.
3.      Ahmad Abdullah Al-Yadziy, Dirosatu fi Al-Firoq wa At-Thowaif Al-Islamiyyah, Maktabah Al-Haiah Al-Misriyyah Al-‘Ammah Lilkitab, tahun 2009.
4.      DR. Muhammad Imaroh, Tayarat Al-Fikri Al-Islamiyy, Dar As-Syuruq, cet. Ke-III, tahun 2008.
5.      Prof. DR. Muhammad Hamdi Zaqzuq, Mausu’ah Al-Firoq wa Al-Mazahib, Jumhuriyatu Misr Al-Arabiyyah-Wizarotul Al-Auqof Al-Majlis Al-A’la, tahun 2011.



[1] Adalah makalah sederhana yang disampaikan pada kajian regular Batavia Study Club. Senin, 13 Februari 2012, di Rumah KPJ, Nasr City, Kairo.
[2] Hamba Allah Swt yang masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Al-Azhar, tingkat III, Jurusan Aqidah wa al-Falsafah, fakultas Ushuluddin.
[3] Ini adalah pendapat ulama orientalis. Dinukil dari buku “Firoq As-Syiah”; karangan An-Nubkhitiy; hal. 2-3; cet. Istanbul; tahun 1931. Dan dari buku “Talkhis As-Syafi”; karangan At-Thusiy; Jilid ke-I; hal. 109-112; cetk. An-Najf; tahun 1383 H-1384 H.
[4] Ketika terjadi musyawarah antara pihak Ali bin Abi Thalib (beliau mengutus Abu Musa Al-Asy’ari) dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (dia mengutus Amru bin ‘Ash) dalam penentuan khilafah.
[5] Bab Dzikru Al-Mu’tazilah; “Kitab Al-Maniyah wal Amal”; hal.4.
[6] “Attaqiyyah” secara bahasa diambil dari kata "اتقى" , yang artinya berhati-hati. Maksud dari “Attaqiyyah” secara istilah adalah berhati-hati dalam mengambil sikap/ keputusan, dengan menjauhi larangan dari Tuhan. Tapi, maksud “Attaqiyyah” di Syiah adalah “Mengatakan/ meyakini sesuatu dengan menghancurkan keyakinan lain yang bertentangan, dan juga melakukan ibadah sama halnya ummat Muslim lainnya (seperti sholat) tetapi tidak akan meyakini sholatnya serupa dengan Muslim lainnya. Dan mengerjakan ibadah Syiah yang hakiki dan yang mereka yakini di rumah mereka.” (salah satu keyakinan Syiah dalam sholat adalah dengan menaruh batu dari tanah Karbala di tempat sujud mereka).
[7] Kitabul Ilmi ‘an Rasulillah, bab “Al-Akhdzu bisunah wa ijtinabi al-bida’.”