Oleh : Ahmed
Tirmidzi El-Basyasyah
Pendahuluan
Mungkin Anda pembaca makalah ini akan tercengang dan
bertanya-tanya, mengapa saya sebagai sang pemakalah disini mengangkat materi
yang sangat tabu dan sakral yaitu “wali”. Banyak orang khususnya masyarakat di
Negara kita Indonesia, yang salah persepsi tentang “wali”. Jika membicarakan “wali”,
maka yang muncul di benak mereka ialah, wali adalah seorang yang sakti dan
bukan manusia biasa yang memiliki banyak kelebihan di luar nalar manusia,
seperti bisa berjalan di atas air, terbang di udara, bahkan bisa merubah buah
aren menjadi emas. Ini seperti apa yang kita ketahui di Film Wali Sanga yang
mempunyai banyak kesaktian (Karamah) ketika menyebarkan islam di Tanah Jawa.
Klaim ini pun sudah terlanjur berkembang di masyarakat kita, jika tidak
menunjukan adanya kesaktian maka dia bukan wali. Padahal sebenarnya,
kesaktian-kesaktian itu bisa didapat seperti apa yang kita ketahui yaitu dengan
mempelajari “Ilmu Hikmah” di pesantren, dengan mentirakati amalan-amalan khusus
semacam puasa, membaca wirid tertentu dengan bilangan tertentu dan lain-lain (Riyadhah).
Atau “Ilmu Sihir”, seperti apa yang penulis saksikan di acara televisi, seorang
Dedy Corbuzier dan David Copperfield pun bisa berjalan diatas air dan terbang
di udara. Dan ini parahnya lagi, ada seseorang “wali” yang ketahuan tidak
shalat jum’at di masjid kampungnya, lantaran ia berdalih telah shalat jum’at di
Masjidil Haram, Makkah Al-Mukarramah, orang-orang awam pun lantas mempercayai
bahwa itu adalah karamahnya.
Ada juga yang berpendapat, bahwa derajat “wali” hanya
diperuntukan bagi mereka yang keturunannya adalah keturunan wali, seperti dari
nasab Rasulullah, para habib mempunyai peluang besar untuk menjadi wali
sedangkan kita tidak. Atau seperti Raden Maulana Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang) adalah seorang putera dari Sunan Ampel, yang telah menjadi wali
seperti Ayahnya. Pernyataan ini ada benarnya, karena “tittle” wali itu dapat
diraih karena dua faktor ; keturunan (Dzurriyah) atau usaha (Ikhtiar).
Mengenai karamah, ada benarnya juga, jika semua itu adalah kelebihan-kelebihan
atau karamah-karamah dari Allah SWT. atas kewaliannya, bukan dari setan. Bukan
dari “Black Magic” yang dapat dipelajari siapa pun. Tentunya, seorang “wali” adalah
yang sangat ketat dalam menjalani syariat, menjaga dirinya dari perbuatan dosa
dan cinta kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, bukan yang meninggalkan shalat (Syariat).
Memang diakui, untuk sampai menjadi
derajat wali tidaklah mudah perlu usaha dan banyak rintangannya. Tapi pun,
tidak sesulit yang kita bayangkan, harus menyendiri dari keramaian orang,
bertapa ke gunung sana guna mendekatkan diri pada Allah SWT. Contoh wali yang
baik adalah Rasulullah SAW. hidup di tengah-tengah masyarakat, tapi tetap dekat
dan selalu berhubungan kepada Allah SWT. Penulis Insya-Allah akan membahas
semua ini secara gamblang dan praktis dalam kumpulan pertanyaan-pertanyaan,
bahwa derajat kewalian begitu penting!
Apa itu wali?
Dalam kamus Lisan Al-Arab karangan Ibnu
Munzhir, secara etimologi, kata wali berasal dari Al-Waliyyu, yang
berarti An-Nashir, Al-Bala yaitu penolong, pembela,
kekasih, lawan kata dari Al-‘Aduwwu, musuh. Adapun arti terminologinya,
Seorang penolong, pembela, kekasih, pecinta Allah dan Rasul-Nya yang tidak ada
takut dan sedih di dalam diri mereka,
“Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertaqwa, bagi mereka berita gembira didalam kehidupan di dunia dan
akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat atau janji-janji Allah, yang
demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Yunus : ( 62 – 64)
Dijelaskan juga di dalam Hadist Qudsi, Dari Abu Hurairah RA., berkata: Rasulullah
SAW. bersabda : Sesungguhnya Allah SWT. telah berfirman, “Barangsiapa
memusuhi wali-Ku (Kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya,
dan tidaklah seseorang bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku
sukai daripada hal-hal yang telah Aku fardhukan. Dan tidaklah seseorang hamba
terus menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku
mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku pendengarannya
yang ia gunakan untuk mendengar dan penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat dan tangannya yang ia gunakan untuk berjuang dan kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku akan
memberinya, dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku pasti Aku memberinya
perlindungan.” (HR. al-Bukhari)
Kenapa harus maqam wali yang dicari?
Maqam wali
sangatlah penting. Allah SWT. telah menjanjikan dan memberikan kabar gembira
bagi mereka, tidak akan ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka di kehidupan
dunia dan akhirat. Ketakutan dari segala macam musibah; bencana, ujian, cobaan,
dan kesedihan ; kematian, penyakit, kekurangan rezeki dan sebagainya, karena
semua itu para wali menyerahkannya kepada Allah, mereka bertawakkal, segala
sesuatu dari Allah dan kembali kepada-Nya. Tidak ada ketakutan bagi mereka
kehilangan atau kekurangan rezeki, karena didalam diri mereka ada sifat qana’ah
dan tahu bahwa kesenangan yang abadi ada di akhirat kelak. Ataupun kesedihan ; kematian,
penyakit, dan lainnya, cinta Allah-lah yang menjadikan hidup mereka selalu
bahagia, bahwa itu semua adalah titipan dan tanda kasih-sayang Allah SWT. padanya.
Insya-Allah, di
akhirat kelak, di masa yang mana manusia berada dalam ketakutan, di masa yang
mana Allah SWT. murka semurka-murkanya, di masa yang mana tidak ada
perlindungan kecuali dari-Nya, sang wali tidak akan ada ketakutan dan kesedihan,
karena antara Allah dan mereka saling mencintai. Firman Allah SWT., “Barangsiapa
memusuhi wali-Ku (kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya”.
Ini adalah kalimat sang pencinta. Seperti kita mencintai seseorang, “Aku akan
selalu menjaganya karena aku sayang kepadanya”.
Seorang wali akan
selalu dibimbing oleh Allah SWT. karena Allah-lah kekasihnya. Segala permintaan
mereka dikabulkan. Jika meminta perlindungan maka Allah siap memberinya.
Memusuhi wali berarti memusuhi Allah Jalla Wa ‘Alaa.
Bagaimana seseorang bisa meraihnya?
Dalam kitab Minhajul
‘Abidin karangan Waliyullah Imam Ghazali RA. menjelaskan, seseorang yang
ingin mendekatkan diri atau sampai (wushul) kepada Allah Jalla Wa ‘Alaa.
harus menjalani beberapa tahapan (‘Aqabah). Jika tahapan-tahapan ini dapat
dijalaninya, maka ia akan sampai kepada Tuhannya, dekat kepada-Nya, yaitu :
1.
Tahapan
ilmu dan ma’rifat
2.
Tahapan
taubat
3.
Tahapan
godaan
4.
Tahapan
rintangan
5.
Tahapan
pendorong
6.
Tahapan
cacat-cacat
7.
Tahapan
puji dan syukur
Tahapan Ilmu dan Ma’rifat
Seseorang yang
ingin beribadah kepada Allah dengan benar agar dapat terhindar dari segala
kesalahan dan mara bahaya, maka harus mengikuti tuntunan cara beribadah seperti
apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Semoga Allah SWT. memberikan taufik-Nya
kepada kita. Amin. Maka untuk itu, kita membekalinya dengan ilmu dan ma’rifat.
Sebab, beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal
dari segala perbuatan. Dan antara ilmu dan ibadah adalah ibarat dua mata rantai
yang saling berkaitan tidak dapat dipisahkan.
Al-Qur’an
diturunkan Allah SWT. untuk umat Nabi Muhammad SAW. berisikan ilmu-ilmu seperti
ilmu ushul aqidah, ilmu tauhid, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu lughah, ilmu
balaghah dan lainnya, bahkan sampai ilmu sains pun dibahas didalamnya. Ilmu-ilmu
inilah yang melandaskan kita untuk tahu bagaimana caranya beribadah, bagaimana
mengetahui aqidah yang benar, dan sebagai landasan-landasan dalam mengetahui
syariat islam itu sendiri. Rasulullah SAW. bersabda tentang keutamaan ilmu dan
ibadah,
نظرة الى العالم
احب الي من عبادة سنة صيامها و قيامها
“Melihat orang berilmu (beribadah), aku lebih sukai dari pada beribadah
satu tahun, rajin berpuasa, dan mendirikan shalat malam (tanpa ilmu)”. Sangat
jelas, bahwa kedudukan ilmu sangat diutamakan dalam beribadah. Keduanya tidak
bisa dipisahkan. Sabdanya juga,
العلم امام العمل
و العمل تابعه
“Ilmu adalah imamnya amal
(ibadah), dan amal adalah makmumnya.” Oleh karena itu, ilmu merupakan
inti (pokok) yang harus didahulukan dan diikuti oleh ibadah. Apa faedahnya berilmu?
Pertama, agar benar dan berhasil dalam menjalankan ibadah. Dengan ilmu, maka
kita mengetahui Dzat yang harus disembah, yaitu Allah-lah yang patut disembah.
Kedua, agar ibadah yang kita jalani selamat dari macam penyakit, yang dapat
merusak ibadah.
Adapun yang dimaksud ilmu ma’rifat adalah orang yang
harus mengenal empat perkara :
1.
Mengenal dirinya, bahwa dirinya
adalah hamba Allah yang lemah dan membutuhkannya.
2.
Mengenal Tuhannya, mengetahui dengan
sebenar-benarnya dan yakin bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan tempat
kembali.
3.
Mengenal dunia, yaitu mengetahui
keburukan dan kefanaan dunia.
4.
Mengenal akhirat, mengetahui begitu
pentingnya kita mempersiapkan untuk akhirat.
Tahapan
Taubat
Wajib
bagi orang-orang yang menjalankan ibadah untuk melakukan taubat. Sebab
diwajibkan taubat ada dua hal : Pertama, agar kita taat kepada-Nya. Sebab,
perbuatan dosa menghalangi taat yang akan menghilangkan ketauhidan, menghalangi
beribadah pada Allah dan berbuat baik. Orang sering melakukan dosa hatinya
menjadi hitam, kelam, dan keras. Tidak ada kebersihan dan kejernihan, tidak
akan ikhlas dan senang dalam beribadah. Jika Allah tidak memberikan rahmat,
maka hati yang demikian itu akan menjerumuskan ke dalam kekufuran. Kedua, agar
ibadah kita diterima Allah SWT. karena taubat merupakan inti dan dasar untuk
diterimanya ibadah.
Taubat
yang dijalankan tanpa adanya pendahuluan (Mukaddimah) akan terasa berat.
Oleh sebab itu, dalam bertaubat terdapat tiga pendahuluan :
1.
Kita menyadari bahwa dosa adalah
sesuatu yang amat buruk.
2.
Sadar dan ingat akan kerasnya
hukuman dan murka Allah SWT.
3.
Menyadari kelemahan dan kurangnya
tenaga kita untuk menahan semua itu.
Sangatlah beda antara penyesalan
dan taubat. Penyesalan dengan mengatakan “aku menyesal”, kebanyakannya hanya terucap
di bibir saja dan bukan dari hati yang paling dalam, bukan dari ketulusan hati,
alias palsu. Agar penyesalan itu benar-benar menyesal, tidak diulangi lagi,
maka harus didasari tiga pendahuluan tersebut, agar menjadi taubatan nasuha.
Jika taubat itu telah kita laksanakan dengan baik yaitu kita bertaubat untuk
tidak akan mengulangi lagi, lalu muncul kekhawatiran akan mengulangi lagi, maka
itu benar-benar bisikan dari setan. Sekali lagi itu bisikan dari setan. Tidak
lain, setan ingin kita mati dalam keadaan su’ul khatimah, jelek akhirnya,
dengan menanamkan keraguan, dan akhirnya kita malas beribadah. Kalau sudah
malas ibadah, tanpa kita tahu ternyata ajal menjemput kita, maka kita mati
dalam keadaan berdosa.
Tahapan godaan (Awaiq)
Dalam
beribadah pun ada rintangan dan godaan yang harus dihindari, sehingga ibadah
kita tegak dan kokoh. Godaan ibadah ada empat macam :
Dunia
dan seisinya, yaitu semua yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Untuk menyelamatkan diri dari segala godaan,
kita harus menjauhi dan memalingkan dari dunia itu, yakni jiwa dan raga tidak
sepenuhnya untuk dunia. Bisakah urusan dunia dan akhirat berjalan bersamaan?
Dunia dan akhirat ibarat dua wanita yang dimadu. Jika seseorang dapat
menggembirakan yang satu, maka yang satu lagi akan kecewa! Seperti apa yang
diriwayatkan oleh Abu Darda’ RA., “Aku berkeinginan menghimpun dagang dengan
ibadah. Tetapi, kedua-duanya tidak dapat berkumpul. Maka, aku memilih ibadah
dan meninggalkan dagang.” Itu adalah tariqat Abu Darda’ RA. Sedangkan berbeda
dengan tariqat Abdurrahman bin ‘Auf RA., beliau menjalankan ibadah sambil
berdagang. Rasulullah SAW. Bersada, “Barangsiapa mencintai dunia, urusan
akhiratnya akan tercecer.
Maka
sebab itu, kita harus Zuhud memperbanyak dan mempertinggi nilai amal.
Pengertian
zuhud adalah tidak mengejar kesenangan dunia yang tidak ia miliki, membagikan
kesenangan dunia yang terkumpul padanya, dan tidak menghendaki dunia dalam
hatinya dan tidak mengusahakannya. Allah berfirman menegaskan tentang zuhud, “Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang kami kehendaki…” (al-Isra’ : 18)
2. Makhluk Tuhan.
Sedangkan yang mewajibkan kita agar menjauhi makhluk ada dua perkara. Pertama,
kebanyakan makhluk akan memalingkan kita dari ibadah dengan memasukan
kebingungan-kebingungan dalam hati kita. Kedua, kebanyakan manusia dapat
merusak ibadah yang kita laksanakan. Dengan ajakan yang menjurus kepada
perbuatan riya dan bermegah-megahan, jika tidak ada perlindungan dari Allah
SWT.
3. Setan. Yang
mewajibkan kita untuk memerangi dan mengalahkan setan ada dua. Pertama, setan
adalah nyata-nyata musuh yang menyesatkan. Kedua, sudah menjadi tabiat setan
untuk selalu memusuhi anak-cucu Adam. Guna memerangi dan mengalahkan setan,
menurut pendapat ulama ada tiga cara. Pertama, harus mengetahui tipu daya
setan, sehingga dia tidak akan berani mengganggu kita. Kedua, anggaplah remeh
ajakan setan itu. Yakni, jangan memberi perhatian, jangan sekali-kali ajakannya
kita ambil hati, apalagi dituruti. Ketiga, berdzikir dengan lisan maupun hati.
Nabi SAW. Bersabda, “Sesungguhnya dzikrullah itu menyakitkan setan. Seperti
menderitanya anak Adam dengan penyakit aqallah yang bersarang di lambung”
4.
Hawa
nafsu. Hawa nafsu adalah musuh yang sangat mencelakakan, menimbulkan petaka
yang amat besar, dan sukar dihindari. Kita harus waspada terhadap hawa nafsu
karena dua perkara; (1) Karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam. Bukan
musuh dari luar, seperti halnya setan. (2) Karena hawa nafsu adalah musuh yang
disukai. Manusia yang mencintainya akan menutup mata terhadap segala
keaibannya.
Tahapan rintangan (Awarid)
Rintangan itu ada empat macam :
1.
Rezeki
dan tuntutan nafsu. Keduanya dapat diawasi dengan tawakkal. Firman Allah SWT., “Dan
hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang
beriman” (al-Maidah : 23)
2.
Bahaya-bahaya
sampingan dari bahaya-bahaya utama. Seperti thulul ‘amal, merasa tidak akan
mati.
3.
Takdir
Allah dan macam-macam takdir.
4.
Kesulitan
dan musibah.
Tahapan pendorong
Diantaranya ; Pertama,
rasa takut selalu kepada Allah untuk tidak berbuat maksiat (Khauf).
Kedua, harapan kepada Allah (Raja’) agar selalu taat kepada-Nya. Allah
berfirman,“… sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan
harap…” (al-Anbiya : 90)
Adapun mukaddimah
(pendahuluan) seseorang untuk selalu khauf kepada Allah SWT. adalah
sebagai berikut:
1.
Mengingat
segala dosa yang telah diperbuat, serta banyaknya musuh yang membawa kita pada
kezhaliman. Sedangkan kita tidak dapat lepas darinya, dan terus-menerus
mengikuti hingga kini.
2.
Mengingat
beratnya siksa Allah SWT. bagi orang-orang durhaka, dan kita tidak akan kuat
menanggungnya.
3.
Senantiasa
sadar akan kelemahan diri dalam menanggung pedihnya siksa.
4.
Selalu
ingat akan kekuasaan Allah SWT. terhadap diri kita. Dia dapat berbuat apa saja
sesuai dengan kehendaknya, kapan saja Dia menghendaki.
Dan adapun juga mukaddimah (pendahuluan)
seseorang untuk selalu raja’ kepada Allah SWT. :
1.
Senantiasa
mengingat karunia Allah SWT. yang telah kita rasakan.
2.
Senantiasa
janji Allah SWT. mengenai pahala yang berlimpah, kasih sayang-Nya yang besar.
3.
Selalu
mengingat pemberian Allah SWT. yang sangat besar, baik dalam urusan agama
maupun kebutuhan dunia.
4.
Selalu
mengingat luas dan besarnya rahmat Allah SWT.
Tahapan cacat-cacat
Cacat-cacat disini
adalah sifat riya, ujub, kikir (Bakhil) dan tidak menjaga diri dari
hal-hal tercela. Sifat-sifat ini semua bisa menggugurkan pahala ibadah kita.
Tahapan puji dan syukur
Setelah kita
berhasil menempuh tahapan yang enam, dan telah berhasil mengamalkan macam
ibadah yang telah dikemukakan, kini saatnya kita bersyukur dan memuji Allah
SWT. atas karunia-Nya. Kesyukuran ini karena dua sebab. Pertama, agar kekal
kenikmatan yang sangat besar itu, sebab jika tidak disyukuri akan hilang.
Kedua, agar nikmat yang telah kita dapatkan bertambah.
Kapan seseorang bisa mencapai derajat
wali?
Seseorang akan
mencapai derajat wali, jika Allah telah mencintainya dan dia mencintai-Nya. Yaitu,
dengan menjalankan semua apa yang difardhukan Allah hingga Allah benar-benar
mencintainya. Lalu menambahnya dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah hingga
Allah tambah cinta kepadanya, “…dan tidaklah seseorang bertaqarrub kepada-Ku
dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada hal-hal yang telah Aku fardhukan. Dan
tidaklah seseorang hamba terus menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…”
Waliyullah Syaikh
Abdul Qadir QS. menjelaskan dalam Kitab Tafsirnya Al-Jailani, “Keistiqamahan
lebih baik dari pada seribu karamah.” Karena keistiqamahan, menjaga amal ibadah
agar selalu dijalani (kontinu), sangat diutamakan dari pada karamah dari Allah itu
sendiri.
Adakah wali di zaman sekarang?
Tentu saja ada. Dan tidak usah diperdebatkan lagi keberadaannya
dimana-dimananya. Wali-wali Allah bertebaran di seluruh dunia, merekalah yang
menjaga kestabilan dunia ini dengan dzikir dan taqwa kepada Allah. Rasulullah
SAW. pernah menyatakan: “Orang-orang Sholeh dikalangan ini (umat Muhamad SAW.)
berjumlah tiga puluh orang. (Mereka itu) seperti Khalilur-Rahman (orang yang
amat dekat dengan Allah) ‘Azza wa Jalla. Bila seorang dari mereka wafat, Allah
menggantikan pada kedudukannya dengan orang lain”. Hadits ini dikemukakan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal dengan rawi-rawi shahih.
Siapa
saja wali zaman dahulu hingga sekarang?
Waliyullah itu sangat banyak sekali jumlahnya, bukan hanya satu
dua tapi mungkin ratusan bahkan ribuan. Karena wali-wali itu sendiri adalah
mereka yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, yaitu umat islam, mu’minin. Contoh,
seperti Wali Sanga di Indonesia, yang berjumlah sembilan, meskipun kenyataannya
lebih dari itu. Atau wali yang masyhur semisal Syaikh Abdul Qadir Jailani,
Syaikh Imam Ghazali, dan banyak lagi.
Tentunya, wali yang paling agung di antara wali-wali adalah Nabi
Besar Kita Muhammad SAW. dan beserta sahabat-sahabatnya, yang kecintaan mereka kepada
Allah SWT. melebihi kita yang hidup di akhir zaman ini.
Penutup
Benar-benar pemakalah kelelahan menyelami ilmu tasawwuf ini,
kedalamannya laksana lautan yang tak cukup diselami hanya dengan berenang, tapi
juga harus dengan alat renang yang canggih, supaya bisa meraup butiran-butiran
mutiara di bawah sana. Iman dan ketaqwaanlah, dua alat super canggih untuk
dapat menggali ilmu-ilmu Allah SWT. Dan yang Anda baca ini masih terdapat banyak
kekurangan disana-sini, karena kelemahan penulis dan keinginan “coba-coba”
menyelami lautan ilmu Allah yang begitu luas, yang sejatinya bukanlah penulis
pakar dibidangnya.
Mudah-mudahan maklumat ringkas ini bisa memberikan kita
pengetahuan bahwa derajat wali merupakan sebuah kenikmatan yang besar, tidak
ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka di dunia dan akhirat. Dan sangat
mungkin sekali bagi kalian menggapai maqam wali. (Wallahu a’lam bisshawab)
Daftar
Pustaka
Departemen
Agama RI. 2007. Al-Qur’an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002. Jakarta: CV
Penerbit Darus Sunnah.
Imam
Abu Abd Allah ibn Muhammad ibn Ali al-Hakim al-Tirmidzi. 1993. Adab al-Nafs
wa Riyadhat al-Nafs. Kairo: Al-Dar al-Mishriyyah.
Ibn
Manzhur. Lisan al-‘Arab. Bairut: Dar Shadir.
Syaikh
Imam Ghazali. Minhaj al-‘Abidin. 1986. Jakarta: Darul Ulum.
Syaikh
Abd al-Qadir al-Jailani. Tafsir Jilani. Turki: Markaz al-Jaylani li al-Buhuts al-Islamiyah.
Musthafa ibn
al-‘Adawy. Shahih al-Hadist al-Qudsiyyah. Cet. Ke-1 Kairo: Maktabah
al-Shafa.
Muhammad Dhiya
ad-Din al-Kurdy. Nasy-ah al-Tasawwuf al-Islami. Kairo: al-Mathba’ah
al-Fanniyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar